Saturday, 28 June 2014

Pengaruh Hipoksia terhadap Metabolisme dan Fisiologi Ikan

Hipoksia yaitu kondisi simtoma kekurangan oksigen pada jaringan tubuh. Pada kasus yang fatal dapat berakibat koma, bahkan sampai dengan kematian. Namun, bila sudah beberapa waktu, tubuh akan segera dan berangsur-angsur kondisi tubuh normal kembali. Hipoksia musiman (oksigen terlarut, DO< 2 mgl-1) terjadi secara alami di muara dan disebabkan oleh stratifikasi vertikal karena pembentukan halokline dan thermokline dan dengan peningkatan suhu musiman yang mendorong permintaan oksigen yang tinggi (Thomas et al. 2007).

Selama kondisi hipoksia, menyebabkan kenaikan konsentrasi laktat dalam plasma. Rata-rata konsentrasi laktat plasma pada kondisi normal adalah 1,1 mM, namun pada kondisi hipoksia, konsentrasi laktat plasma meningkat menjadi 5,8 mM. Konsentrasi glukosa, aktivitas spesifik dan fluk grukosa juga dipengaruhi oleh kondisi hipoksia (Gambar 1.). Pada kondisi normal, konsentrasi glukosa plasma dan rata-rata glukosa tersimpan adalah berturut-turut 5,5 mM dan 5,4 mM µmol.kg-1. Konsentrasi tersebut meningkat setelah ikan terpapar hipoksia selama 30-60 menit (Haman et al. 1997).

Dibawah kondisi hipoksia, ikan berusaha mempertahankan metabolisme normal dengan cara meningkatkan ekstraksi oksigen melalui mekanisme neural dan hormonal. Glikolisis anaerobik dirangsang, ini diidikasikan dengan adanya akumulasi laktat dalam plasma. Hipoksia menyebabkan oksidasi bahan bakar seperti protein dan lemak menjadi karbohidrat (M'Boy 2011). Pada saat tertentu, produksi glukosa hati distimulasi oleh stress hipoksia, tetapi kenaikan ini tidak diimbangi dengan perubahan glukosa (M'Boy 2011), sehingga tidak terjadi keseimbangan antara produksi dan perubahan glukosa, dan berakibat tejadinya hiperglikemia. Beberapa kasus hipoksia dikenal juga menghasilkan pelepasan khatekolamin dan hormon stress lainnya yang kemungkinan menyebabkan respon hiperglikemik yang menstimulasi glykogenolisis dan atau glukoneogenesis (Haman et al. 1997).
Gambar 1. Konsentrasi laktat dan glukosa plasma pada ikan yang terpapar hipoksia
Penelitian lingkungan hipoksia terhadap ikan nila (tilapia), menunjukkan sebuah hubungan antara rata-rata konsumsi oksigen dengan tekanan parsial oksigen dalam air. Oksigen merupakan faktor penting dalam pembentukan energi (ATP). Pada tilapia, paparan hipoksia ditandai dengan penurunan sejumlah besar konsumsi oksigen. Pada sebagian besar vertebrata, hati sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen karena perubahan suplai dan kebutuhan oksigen (M'Boy 2011). Pemeliharaan kestabilan energi (ATP) pada tilapia selama terpapar hipoksia dan pengukuran toleransi hipoksia, adalah dengan kombinasi kenaikan oksigen dan produksi ATP secara tidak langsung melalui glikolisis anaerobik dan reduksi CPO (cardiac power output). Toleransi ikan terhadap hipoksia seperti pada tilapia, untuk memodulasi CPO selama periode oksigen rendah sangat penting dalam survival hipoksia pada organisme (Speers-Roesch et al. 2009).

Pengaruh hipoksia terhadap asam lemak, tidak seperti pengaruhnya terhadap laktat maupun glukosa dalam plasma. Konsentrasi asam lemak dan kontribusi bagian-bagiannya tidak dipengaruhi oleh perubahan oksigen dalam air. Aktivitas palmitat spesifik meningkat selama hipoksia (M'Boy 2011), tetapi persentase palmitat tidak dipengaruhi oleh perubahan oksigen. Pada ikan normal, rata-rata nonesterified fatty acids (NEFA) adalah 0.98 mM. Total konsentrasi NEFA tidak dipengaruhi oleh perubahan oksigen dalam air, tetapi rata-rata NEFA tersimpan mengalami penurunan secara signifikan setelah terpapar hipoksia selama 60 menit (gambar 2.). Konsentrasi laktat, glukosa, glukosa fluk dapat dilihat pada gambar 1. (Haman et al. 1997).

Gambar 2. Konsentrasi palmitat plasma (A), aktifitas spesifik (B) dan fraksional contribusi NEFA (C) (Haman et al. 1997)
Konsentrasi NEFA fluk yang lebih rendah dan tetapnya konsentrasi NEFA yang tersimpan pada ikan yang terpapar hipoksia dapat ditunjukkan dengan penurunan parallel pada rata-rata oksidasi dan mobilisasi NEFA. Rendahnya konsentrasi NEFA mungkin disebabkan oleh tingginya konsentrasi glukosa plasma. Mobilisasi NEFA secara tidak langsung berasal dari kontrol hormonal. Produksi glukosa kembali normal setelah satu jam terkena paparan hipoksia dapat diamati pada kenaikan glikolisis anaerobik terutama pembentukan kembali glikogen daripada sirkulasi glukosa (Haman et al. 1997).

Hipoksia menyebabkan penurunan osmoregulasi, yang ditunjukkan dengan penurunan kapasitas osmoregulasi (osmoregulatory capacity; OC). Selain itu juga menyebabkan kenaikan laktat dan glukosa. Namun demikian, pada udang Litopanaeus vannamei yang diekspose kondisi hipoksia (1,5-2,5 mg O2 l-1) selama tiga hari, sekitar empat kali lebih tinggi kadar glukosa dan laktatnya pada haemolympha yang diteliti dibandingkan dengan kontrol (Mugnier et al. 2008). Kenaikan konsentrasi laktat hemolipha pada umunya direalese dari metabolisme anaerobik jaringan. Pada kondisi hipoksia, kenaikan konsentrasi Ca2+ haemolimpha merupakan faktor penting afinitas oksigen haemolimpha. Hipoksia juga menjadi respon stress dan menurunkan THC (total haemocyte count), yang juga berpengaruh terhadap sistem imun. Hipoksia hipercapnia menurunkan THC dan menaikkan rata-rata kematian udang windu (Mugnier et al. 2008).

Friday, 20 June 2014

Distribusi dan Habitat Kepiting Bakau


Kepiting bakau merupakan salah satu organisme yang hanya terdapat di perairan tropik. Kepiting bakau tersebar pada beberapa wilayah di Indopasifik, mulai dari pantai Selatan dan Timur Afrika Selatan, Mozambik, Iran, Pakistan, India, Srilanka, Bangladesh, pulau-pulau di lautan Hindia, Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya, Jepang, Taiwan. Kepiting bakau juga ditemukan di pulau-pulau Lautan Pasifik mulai dari Kepulauan Hawaii sampai ke Selandia Baru dan Australia (Kasry 1996). Kepiting bakau umumnya banyak ditemukan di wilayah pesisir dan perairan payau (hutan mangrove).

Kepiting bakau termasuk dalam genus Scylla, memiliki daerah sebaran yang luas di sepanjang Indo-Pasifik Barat. Scylla serrata (S. oceanica Estampador) memiliki daerah penyebaran paling luas, Indo-Pasifik Barat: dari Timur dan Selatan Afrika ke Asia Tenggara dan Asia Timur (bagian Tenggara China dan Sri Lanka), dan Timur Laut Australia. Bagian Timur Marianas, Kepulauan Fiji dan Kepulauan Samoa (FAO 2011). S. tranquebarica (S. serrata var. paramamosain Estampador) dan S. olivacea (S. serrata Estampador) memiliki daerah penyebaran yang terfokus di Laut Cina Selatan yang memanjang sampai Samudera Hindia dan Samudera Pasifik bagian Barat. Sementara itu, S. paramamosain memiliki daerah penyebaran yang terbatas, kebanyakan berada di Laut Cina Selatan dan Laut Jawa (Le Vay 2001; Watanabe et al. 2002).

Kepiting bakau dapat ditemukan di daerah estuari dan daerah pesisir yang tertutup, secara umum kepiting bakau biasanya berasosiasi kuat dengan hutan mangrove, terutama daerah estuari. Selanjutnya, terdapat kondisi yang membedakan distribusi lokal dan kelimpahan keempat spesies kepiting bakau secara kompleks, Hill (1975;1978); Hill et al. (1982) dalam Le Vay (2001) menyatakan bahwa distribusi dan kelimpahan kepiting bakau bergantung pada stadia perkembangan kepiting bakau. Kepiting bakau juvenil hingga ukuran karapaks 8 cm biasanya melimpah pada daerah intertidal, sedangkan kepiting bakau sub-adult dan dewasa berada di daerah subtidal. Chandrasekaran & Natarajan (1994) dalam Le Vay (2001) menyatakan bahwa juvenil baru kepiting bakau akan lebih memilih berada di lingkungan perairan yang tertutupi oleh lamun, alga, dan akar mangrove.

Menurut Kasry (1996) kepiting bakau akan beruaya dari perairan pantai ke perairan laut, kemudian induk dan anak-anaknya akan berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai atau perairan hutan bakau untuk berlindung, mencari makan, atau membesarkan diri. Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan beruaya dari perairan bakau ke tepi pantai dan selanjutnya ke tengah laut untuk melakukan pemijahan. Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan akan kembali ke perairan hutan bakau atau paling jauh di sekitar perairan pantai yaitu pada bagian-bagian yang berlumpur dengan organisme makanan yang berlimpah. Telur kepiting yang telah dibuahi akan menetas menjadi zoea (Z I, II, III, IV, V), megalopa, kepiting muda, dan akhirnya menjadi kepiting dewasa. Kepiting muda akan kembali ke pantai atau kawasan mangrove untuk mencari makan dan tempat berlindung yang aman.

Friday, 13 June 2014

Simbiosis Kepiting Bakau dan Hutan Mangrove

Ekosistem mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam tropika yang memiliki fungsi dan manfaat yang luas ditinjau dari aspek ekologi dan ekonomi. Kontribusi yang paling penting dari hutan mangrove dalam kaitannya dengan ekosistem pantai adalah serasah daunnya (penghasil detritus) dan dapat menghasilkan material bahan organik yang menjadi sumber energi bagi organisme yang hidup di ekosistem mangrove tersebut. Detritus yang dihasilkan oleh hutan mangrove dimanfaatkan sebagian oleh hewan pemakan detritus, dan sebagian lagi diuraikan secara bakterial menjadi mineral-mineral hara yang berperan dalam penyuburan perairan (Bengen 2001).

Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa komunitas mangrove memainkan peranan penting bagi berbagai jenis biota yang hidup di sekitar ekosistem tersebut. Nontji (1987), mengemukakan bahwa beberapa produk perikanan yang bernilai ekonomis penting mempunyai hubungan yang erat dengan ekosistem mangrove seperti udang (Penaeus), kepiting bakau (Scylla serrata) dan Tiram (Crassostrea).

Kepiting bakau (Scylla serrata) menjalani sebagian besar hidupnya di ekosistem mangrove dan memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai habitat alami utamanya, yakni sebagai tempat berlindung, mencari makan, dan pembesaran. Kepiting bakau memanfaatkan perairan hutan mangrove sebagai lokasi untuk melakukan kopulasi/pembuahan, dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting bakau betina akan beruaya dari perairan hutan mangrove ke perairan laut untuk memijah, sedangkan kepiting bakau jantan akan tetap berada di hutan mangrove untuk melanjutkan aktifitas hidupnya. Setelah memijah, kepiting bakau betina akan kembali ke hutan mangrove. Demikian pula dengan juvenil kepiting bakau yang akan bermigrasi ke hulu estuari, untuk kemudian berangsur-angsur memasuki hutan mangrove (MandongaBoy 2014).

Ekosistem mangrove, merupakan tempat ideal bagi kepiting bakau untuk berlindung. Kepiting bakau muda post-larva yang berasal dari laut, banyak dijumpai di sekitar estuari dan hutan mangrove, karena terbawa arus dan air pasang dan akan menempel pada akar-akar mangrove untuk berlindung (Hutching & Saenger 1987). Sedangkan kepiting bakau dewasa merupakan penghuni tetap hutan mangrove, dan sering dijumpai membenamkan diri dalam substrat lumpur, atau menggali lubang pada substrat lunak sebagai tempat persembunyian. Pagcatipunan (1972) dalam Siahainenia (2008) menyatakan bahwa setelah berganti kulit (moulting), kepiting bakau akan melindungi dirinya dengan cara membenamkan diri, atau bersembunyi dalam lubang sampai karapaksnya mengeras. Hutching dan Saenger (1987) dalam Siahainenia (2008), menyatakan bahwa kepiting bakau hidup di sekitar hutan mangrove, dan memakan akar-akarnya (pneumatophore).

Friday, 6 June 2014

Peran Amine Biogenic dan Enkephalin pada Regulasi Glukosa Darah Crustacea

        Neurotransmitter seperti 5-HT, DA dan L/M enk memainkan peran penting dalam modulasi hormon dan pada waktu yang sama level dan fungsi mereka dapat dirubah oleh polutan (Lorenzon 2005). 5-HT diketahui sebagai neurotransmitter di crustacea pada beberapa kisaran dan levelnya telah diukur pada sistem saraf dan hemolymph dari berbagai jenis spesies crustacea sehingga menunjukkan peran yang mungkin sebagai neurohormon (Lorenzon 2005).
Pada crustacea 5HT dihubungkan dengan sirkuit terpisah yang mengontrol pergerakan bagian depan, perilaku melarikan diri, tenaga daya penggerak dan agresifitas. Selain itu tingkat 5-HT yang sensitif terhadap tekanan lingkungan.
5-HT telah lama diketahui memiliki potensi efek hyperglycemic pada beberapa spesies udang. 5-HT menaikkan glukosa darah pada Palaemon elegans, Astacus leptodactylus dan Squilla mantis. Namun tidak ada efek ditemukan pada individu yang tidak memiliki eyestalk. Hal Ini menunjukkan keterlibatan hormon CHH eyestalk dalam respon hiperglikemia

Hormon CHH (Crustacea Hyperglycemic Hormone) pada Tangkai Mata (Eyestalk) Crustacea

Fungsi utama dari CHH adalah pengaturan tingkat gula hemolymph. CHH juga terlibat dalam fungsi yang lain seperti reproduksi, molting, metabolisme lipid dan pengaturan hydromineral. Bentuk multiple dari CHH menggambarkan salah satu anggota dari keluarga neuropeptida eyestalk  yang mencakup molting Inhibiting Hormone (MIH) dan Gonad Inhibiting hormon (GIH): kelompok CHH / MIH / GIH. Neuropeptida ini, disintesis pada organ X, sekelompok neuron perikarya terletak di ujung medula dari eyestalk, diangkut dan disimpan dalam ujung akson membentuk organ neurohemal bernama SG (sinus gland) dan dirilis oleh exocytosis ke hemolymph (Gambar 1.)

Respon Stress Hyperglycemia pada Crustacea


Hyperglycemia adalah respons khas pada beberapa hewan akuatik yang diakibatkan oleh perubahan lingkungan secara fisik dan kimia. Pada crustacea meningkatnya sirkulasi CHH dan hyperglicemia terjadi mengikuti pemaparan terhadap beberapa stressor lingkungan tetapi tidak terjadi pada hewan yang tidak memiliki tangkai mata (eyestalkless). Hal ini terlihat dalam gambar 1.
Gambar 1. Respon stress pada crustacea
Stres disebabkan oleh perubahan parameter lingkungan. Proses penanganan selama transportasi memerlukan pengaturan homeostatik yang dapat menyebabkan perubahan tentang perilaku dan fisiologis pada hewan air.
Konsentrasiglukosa hemolymph dapat berubah secara signifikan dengan kondisi fisiologis dan lingkungan berubah. Paparan udara selama transportasi dan hipoksia dapat menimbulkan hiperglikemia pada banyak spesies crustacea seperti lobster berduri Jasus edwardsii, kepiting Eriocheir sinensis, kepiting laba-laba Maia squinado dan lobster Norwegia Nephrops norvegicus. Hiperglikemia juga dilaporkan pada udang galah Macrobrachium rosenbergii sebagai respon terhadap kejutan dingin.
Hyperglycemia dan release laktat pada hemolymph adalah respon metabolik sekunder pada penanganan stres udang penaeid (Simon et al. 2010). Bagaimanapun juga, peningkatan laktat terjadi sebelum hyperglikemia, memungkinkan proses glukoneogenesis sebagai jalur pembersihan utama dari laktat. Perubahan catecholamine pada beberapa jaringan mungkin terjadi sebagai mediator (respon stress primer) dari beberapa perubahan metabolik yang diamati pada udang penaeid (Simon et al. 2010). Peningkatan cepat epinephrine pada hepatopankreas mengindikasikan bahwa epinephrine dapat memediasi penyerapan laktat, glukoneogenesis dan katabolisme lipid pada hepatopankreas. Respons susulan dari release norepinephrine pada eyestalk berfungsi sebagai mediator pada efek laktat pada level respon stres primer (Simon et al 2010).
Kadar glukosa darah meningkat pada P. elegans dan spesies crustacea lainnya setelah penyuntikan lipopolisakarida (LPS) dan efek hiperglikemia, kemungkinan dimediasi oleh CHH karena tidak terjadi pada hewan eyestalk less. Ini adalah hubungan dosis dan ketergantungan pada perbedaan bakteri gram negatif LPS .
Logam berat seperti Cd, Hg, dan Cu menyebabkan hiperglikemia pada udang galah, Macrobrachium kistenensis, kepiting, Barytelphusa canicularis  dan S. serrata. Studi terhadap efek dari logam berat pada tingkat glukosa darah pada P. elegans menunjukkan bahwa konsentrasi sub lethal intermediate dari Hg, Cd dan Pb menghasilkan respon hyperglicemic signifikan sedangkan konsentrasi tertinggi tidak menimbulkan hiperglikemia dalam 24 jam. Sebaliknya, sampel yang terpapar Cu dan Zn menunjukkan hiperglikemia bahkan mencapai konsentrasi tinggi. Perbedaan dalam respons dapat dijelaskan berdasarkan peran fisiologis kedua unsur penting pada crustacea, dan konsekuensi adaptasi toleransi, sebagai lawan dari toxic, logam berat xenobiotic Cd, Hg dan Pb. Di sisi lain kedua kelompok logam berat gagal mendatangkan tanggapan hiperglikemia pada hewan yang tangkai matanya diablasi menunjukkan keterlibatan (MandongaBoy 2011) hormon MTXO-SG, CHH yang paling mungkin. Namun, meskipun kekayaan informasi mengenai variasi kadar glukosa darah berikut stres, sedikit banyak diketahui dengan variasi stress pada level CHH dalam kelenjar sinus dan di hemolymph.
Pada lobster Orconectes limosus yang mengalami hipoksia, titer CHH menyebabkan kenaikan dalam waktu 15 menit (dalam Lorenzon, 2005). Pada Cancer pagurus menginduksi sebuah peningkatan pada CHH hemolymph setelah 4 jam. Menggunakan ELISA Chang et al. (1998) mengamati variasi dalam CHH darah pada Homarus americanus setelah terekspos berbagai stress lingkungan. Selain itu peningkatan suhu air meningkatkan CHH darah pada C. pagurus dan P. clarckii. Hasil pengamatan pada C. maenas menunjukkan konsentrasi CHH pada hemolymph meningkat secara dramatis selama molting dari 1-5 fmol 100μL-1 pada intermolt diatas 150-200 fmol 100μL-1 selama ecdysis. Variasi titer CHH hemolymph juga diamati pada N. norvegicus yang terinfeksi oleh parasit dinoflagellata Hematodinium sp
Penggunaan tes ELISA dan bioassay baru-baru ini menunjukkan hubungan antara suatu stressor lingkungan dan release CHH dari eyestalk ke hemolymph dan respon hiperglikemia pada udang P. elegans.  Pemaparan Cu pada P. elegans dipengaruhi hubungan dosis yang cepat dan massif dalam melepas CHH dari eyestalk ke dalam hemolymph yang lebih tinggi. Konsentrasi lethal (mematikan) saat pelepasan secara bertahap dan berkurang diamati pada konsentrasi rendah. Hal ini terlihat pada gambar 3 (Lorenzon 2005).


Hubungan antara paparan toxic dan release CHH dikonfirmasi dalam variasi glukosa darah dengan dosis terkait hiperglikemia yang memuncak 2 jam setelah terpapar Cu. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4. (Lorenzon 2005).


Pemaparan pada konsentrasi sub lethal dari Hg menunjukkan hubungan kuantitatif yang sama dan waktu antara toksik, release CHH dari eyestalk, peningkatan kadar hormon dalam hemolymph dan hyperglycemia sebagaimana telah dijelaskan pada kontaminasi Cu. Menariknya, bagaimanapun konsentrasi tertinggi mematikan yang disebabkan pelepasan CHH dari eyestalk ke hemolymph tetapi tidak diikuti dengan variasi yang signifikan dalam glukosa darah gambar 5, 6. ( Lorenzon 2005).

Situasi ini dapat dikaitkan pada toksisitas tinggi Hg yang mungkin mengganggu mekanisme halus yang mengatur respon hiperglikemia. Hal ini tidak disebabkan penyumbatan sinaptik dari syaraf yang dilapiskan keatasnya dalam rilis jaringan atau rilis terbatas dari sirkulasi CHH pada level CHH yang tinggi dilepaskan/dikeluarkan dari SG ke hemolymph. Hal ini bukan karena penghambatan dari reseptor perifer pada organ target glycogenolytic: tentunya SG homogen disuntikkan ke udang yang eyestalkless pada konsentrasi lethal Hg selama 3 jam masih dapat menyebabkan hiperglikemia (Lorenzon et al. 2000.). Sebaliknya, konsentrasi tinggi dari Hg, dapat mengubah fungsionalitas dari Pre pro-CHH yang diproses selama langkah sekresi dan karena kemampuannya untuk mengikat cysteines - enam yang menggambarkan (MandongaBoy 2011) fitur awet yang tinggi dari struktur peptida. -Hg mungkin mengubah konfigurasi aktif peptida, seperti yang terlihat dalam sistem lain, tetapi bukan immunoreactivity-nya. Selain itu Hg diketahui merusak mekanisme osmoregulatory kepiting, Eriocheir sinensis dan menghambat aktivitas acetyl cholinesterase P. clarckii. Respon perubahan/pergantian P. elegans terpapar pada konsentrasi tinggi Hg juga mungkin terkait dengan perubahan fisiologis yang diinduksi oleh Hg pada level sistemik yang berbeda (Lorenzon et al. 2004.). Kontaminasi Cu menginduksi variasi 5-HT dari eyestalk dan hemolymph P. elegans (Lorenzon et.al 2005). Release 5-HT dari eyestalk terlihat sangat cepat dan dosis yang terikat (tergantung dosis). Pada hemolymph 5-HT puncaknya terjadi setelah 30 menit dan lagi konsentrasi dari sirkulasi 5-HT adalah dosis yang terikat (tergantung dosis). Setelah 1 jam level 5-HT perlahan-lahan menurun ke tingkat basal/dasar. Hal ini terlihat pada gambar 7. (Lorenzon 2005).