Tuesday, 6 May 2014

Potensi Perikanan Budidaya di Sulawesi Tenggara

Sulawesi Tenggara (Sultra) merupakan salah satu wilayah di Indonesia dengan potensi perairan laut yang luas arealnya mencapai ± 114.879 km², dengan panjang garis pantai 1.740 km. Dengan wilayah laut dan garis pantai yang cukup luas menjadikan Sulawesi Tenggara sebagai salah satu wilayah dengan potensi budidaya perikanan laut yang sangat potensial untuk dikembangkan. Potensi budidaya laut berpeluang untuk pengembangan berbagai komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis penting, antara lain rumput laut, mutiara, ikan kerapu, ikan kakap, ikan putih/kuwe, teripang, lobster, kerang-kerangan dan potensi laut lainnya (MandongaBoy 2014).
Akan tetapi, potensi perikanan budidaya tersebut belum termanfaatkan secara optimal. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Penanaman Modal Daerah (BPMD) Provinsi Sultra menunjukkan bahwa baru sekitar ± 24.667,03 hektar potensi budidaya laut yang termanfaatkan dari total potensi ± 396.915 hektar.

Peta Provinsi Sulawesi Tenggara

Budidaya Rumput Laut
Rumput laut (seaweed) adalah komoditas unggulan perikanan budidaya yang produksinya terbesar diantara komoditas unggulan lainnya. Hal ini dikarenakan rumput laut sangat mudah untuk dibudidayakan, teknologi budidayanya telah dikuasai dan mudah untuk diaplikasikan, biaya produksi yang relatif murah dan terjangkau. Bahkan saat ini, dapat dikatakan bahwa rumput laut telah menjadi komoditas budidaya di semua provinsi di Indonesia, termasuk Sulawesi Tenggara.
Salah satu jenis rumput laut yang saat ini banyak dikembangkan di perairan Sulawesi Tenggara yaitu jenis Eucheuma cottonii. Rumput laut dibudidayakan hampir di pesisir setiap kabupaten, diantaranya Konawe Selatan (Konsel) yang luas lahan budidaya 3.210 hektar dengan produksi rumput laut 275,256.41 ton, Konawe Utara yang luas lahan budidaya 514,5 hektar dengan realisasi produksi 6.076,98 ton dan Kota Kendari yang memiliki luas lahan 182 hektar, dengan produksi mencapai 3,288.83 ton pada tahun 2011 (DKP Sulawesi Tenggara 2012), Kota Bau-Bau dengan luas areal perairan yang dapat dimanfaatkan bagi pengembangan budidaya rumput laut berkisar 960 ha di sepanjang garis pantai potensial, memberikan sumbangan sebesar Rp. 12,99 juta (baubaukota.go.id). Seiring terus menjamurnya usaha budidaya rumput laut di Sulawesi Tenggara, berdampak posistif dengan munculnya lokasi-lokasi baru sentra budidaya rumput laut, diantaranya Kabupaten Muna, Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Kolaka Utara, Kabupaten Konawe dan Kabupaten Bombana (MandongaBoy 2011).


Menurut laporan tahunan data statistik perikanan 2011, DKP Provinsi Sulawesi Tenggara, produksi rumput laut Sultra mengalami peningkatan produksi yang sangat besar. Produksi rumput laut di tahun 2007 mencapai 81.787 ton, tahun 2008 sebesar 123.486 ton, tahun 2009 sebesar 185 ribu ton, tahun 2010 sebesar 518 ribu ton, dan meningkat di tahun 2012 mencapai 639 ribu ton.

Tabel 1. Data Produksi Rumput Laut Per Kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara Tahun 2012.
No.
Kab/Kota
Produksi (ton)
1
Kota Kendari
95,00
2
Kota Bau - Bau
118,59
3
Konawe

8.343,75
4
Buton

21.854,24
5
Muna

17.629,85
6
Kolaka

218.878,80
7
Konawe Selatan
299.244
8
Wakatobi
6.315
9
Bombana
45.240
10
Kolaka Utara
7.100
11
Konawe Utara
6.282,10
12
Buton Utara
8.090,87





Budidaya Kerang Mutiara
Mutiara merupakan salah satu komoditas sektor perikanan budidaya yang bernilai ekonomis tinggi dan memiliki prospek pengembangan usaha di masa mendatang, seperti terlihat dari peningkatan permintaan perhiasan dari mutiara dan harganya yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Saat ini, harga mutiara budidaya Indonesia berkisar 4.000 yen per momme (3,75 gram) atau sekitar Rp. 414.000.

Sulawesi Tenggara merupakan salah satu daerah penghasil mutiara jenis South Sea Pearls, “Ratunya Mutiara” yang berasal dari kerang Pinctada maxima, baik dari hasil alam maupun budidaya. Mutiara yang dihasilkan oleh Pinctada maxima mempunyai ukuran yang besar dengan kilau khas. SSP dari P. maxima memiliki keunikan warna maupun kilaunya yang mempesona dan abadi sepanjang masa, sehingga sangat digemari di pasar internasional, dan biasanya diperdagangkan dalam bentuk loose dan jewelry (perhiasan).
Budidaya kerang mutiara di Sulawesi Tenggara menghasilkan butiran mutiara yang diekspor ke luar negeri. Usaha ini selain menyerap tenaga kerja, juga merupakan usaha menggali kekayaan laut yang belum sepenuhnya dikelola. Sayangnya usaha ini membutuhkan modal yang besar, dan penelitian yang lebih mendalam untuk dapat menghasilkan anakan calon induk (MandongaBoy 2011). Sebab selama ini, pengelola masih dibatasi dengan ketergantungan pada calon indukan yang didapat dari alam.
Salah satu lokasi budidaya kerang mutiara di Prov. Sultra yakni di Kecamatan Pasir Putih dan Pulau Kayu Angin, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Namun, belum ada data produksi mutiara dari wilayah ini yang dipublikasikan.
Kab. Buton. Ada dua jenis budidaya mutiara yang kini dibudidayakan dan berkembang di Kota Bau-bau, yaitu Pinctada maxima yang menghasilkan mutiara bundar (round pearl) dan jenis Pteria penqu yang menghasilkan mutiara blister (haft pearl). Jenis Pinctada maxima diusahakan oleh PT. Tiara Indo Pea, sebuah perusahaan PMA dari Jepang. Sedangkan jenis Pteria penqu selain diusahakan oleh perusahaan nasional (CV. Selat Buton) juga banyak dibudidayakan oleh para petani setempat. Produksi mutiara Kab. Buton pada tahun 2012 mencapai 469,92 kg (DKP Sultra 2012).
Budidaya Karamba
            Budidaya sistem karamba merupakan salah satu komoditi unggulan Provinsi Sulawesi Tenggara pada sektor perikanan budidaya. Luas lahan budidaya karamba jaring apung di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) yang dimanfaatkan oleh petani saat ini baru mencapai 95,7 hektare dari potensi yang mencapai 200 hektare. Pada budidaya karamba dikembangkan beberapa jenis ikan ekonomis penting seperti kerapu, ikan putih/kuwe dan baronang.
Selama ini, produksi budidaya ikan karamba jaring apung dan karamba jaring tancap di Kendari dalam setahun baru mencapai 3,5 sampai 5,0 ton. Sedangkan untuk produksi total provinsi Sultra mencapai 9 ton pada tahun 2006, pada tahun 2007 mencapai 458 ton, dan meningkat menjadi 548.84 ton pada tahun 2012.

Budidaya Teripang Pasir
Teripang atau ketimun laut termasuk ke dalam kelas Holothuroidea merupakan salah satu produk perikanan yang telah lama dikenal dan dikonsumsi oleh masyarakat pesisir di Indonesia, dan juga sangat dikenal di negara Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat. Selain bernilai ekonomis, kandungan nutrisinya cukup tinggi: kandungan protein 43,1 %, lemak 2,2 %, kadar air 27,1 %, kadar abu 27,6 %, dan kalsium, natrium, phospor serta mineral lainnya 1,2 - 16,5%. Di pasaran internasional teripang dikenal dengan nama teat fish atau gamat, karena kandungan nutrisinya yang tinggi dan sehat untuk dikonsumsi menyebabkan permintaan dunia akan komoditi ini terus meningkat dari tahun ketahun.
Jenis teripang yang banyak dibudidayakan adalah Holothuria scabra atau lebih dikenal dengan nama teripang pasir atau teripang putih atau teripang kapur (teripang susu). Teripang pasir banyak ditemukan di perairan jernih dengan dasar berpasir, hancuran batu karang dan di sekitar terumbu karang. Harga teripang di pasar lokal berkisar Rp 30.000 – Rp 150.000 per kg, sedangkan di pasar internasional berkisar antara Rp. 180.000 – Rp. 660.000 per kg kering bergantung jenis,  ukuran dan kualitas pengolahannya (MandongaBoy 2014).

Budidaya teripang telah lama dilakukan oleh masyarakat kita khususnya yang bermukim di daerah pesisir termasuk di daerah Sulawesi Tenggara. Seiring dengan dikuasainya teknologi pembenihan dan pembesaran teripang, maka usaha budidaya teripang pun ikut mengalami peningkatan. Dalam waktu enam bulan pemeliharaan dari benih ukuran 100 – 150 g (berat basah), teripang pasir dapat mencapai berat 600 – 700 g (berat basah) saat panen. Bahkan teripang pasir dapat mencapai ukuran 1500 g apabila dipelihara pada kedalaman 5 – 6 meter selama enam bulan.
Lokasi pembudidayaan teripang pasir di Sulawesi Tenggara meliputi Kabupaten Kolaka dan Kabupaten Muna. Data produksi teripang di beberapa daerah sebagai berikut:
  • Kab. Kolaka, 3,7 ton pada tahun 2003 menjadi 7,02 ton pada tahun 2007 (DKP Kab. Kolaka, 2007), dan mencapai 14,6 ton pada tahun 2012 
  •  Kab. Muna, tahun 2012 mencapai 0.59 ton kering.

Masih kurangnya pemanfaatan potensi lahan budidaya perikanan (kurang dari 10%) sebagaimana telah dijelaskan di atas, memerlukan perhatian khusus dari segala pihak baik masyarakat, peneliti dan juga pemerintah. Dengan partisipasi seluruh elemen tersebut serta promosi potensi wilayah maka diharapkan akan dapat mengundang ketertarikan investor baru, menciptakan peningkatan peluang dan kemampuan usaha yang telah berlangsung sebelumnya, serta berpeluang membuka usaha baru di bidang budidaya perikanan. Sehingga akan menciptakan masyarakat terutama petani budidaya perikanan yang sejahtera, yang selanjutnya akan berdampak pada pembangunan dan kemajuan daerah di Sulawesi Tenggara (MandongaBoy 2014).

No comments:

Post a Comment