Sulawesi
Tenggara (Sultra) merupakan salah satu wilayah di Indonesia dengan potensi
perairan laut yang luas arealnya mencapai ± 114.879 km², dengan panjang garis
pantai 1.740 km. Dengan wilayah laut dan garis pantai yang cukup luas
menjadikan Sulawesi Tenggara sebagai salah satu wilayah dengan potensi budidaya
perikanan laut yang sangat potensial untuk dikembangkan. Potensi budidaya laut berpeluang
untuk pengembangan berbagai komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis
penting, antara lain rumput laut, mutiara, ikan kerapu, ikan kakap, ikan putih/kuwe, teripang, lobster, kerang-kerangan dan potensi laut lainnya (MandongaBoy 2014).
Akan
tetapi, potensi perikanan budidaya tersebut belum termanfaatkan secara optimal.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Penanaman Modal Daerah (BPMD)
Provinsi Sultra menunjukkan bahwa baru sekitar ± 24.667,03 hektar potensi budidaya laut
yang termanfaatkan dari total potensi ± 396.915 hektar.
Peta Provinsi Sulawesi Tenggara |
Budidaya Rumput Laut
Rumput
laut (seaweed) adalah komoditas
unggulan perikanan budidaya yang produksinya terbesar diantara komoditas
unggulan lainnya. Hal ini dikarenakan rumput laut sangat mudah untuk
dibudidayakan, teknologi budidayanya telah dikuasai dan mudah untuk diaplikasikan, biaya
produksi yang relatif murah dan terjangkau. Bahkan saat ini, dapat dikatakan
bahwa rumput laut telah menjadi komoditas budidaya di semua provinsi di Indonesia,
termasuk Sulawesi Tenggara.
Salah
satu jenis rumput laut yang saat ini banyak dikembangkan di perairan Sulawesi Tenggara yaitu jenis Eucheuma cottonii. Rumput laut dibudidayakan hampir di pesisir setiap kabupaten, diantaranya
Konawe Selatan (Konsel) yang luas lahan budidaya 3.210 hektar dengan produksi
rumput laut 275,256.41 ton,
Konawe Utara
yang luas lahan budidaya 514,5 hektar
dengan realisasi produksi
6.076,98 ton dan Kota Kendari yang memiliki luas lahan 182 hektar, dengan produksi mencapai 3,288.83 ton pada tahun 2011 (DKP Sulawesi Tenggara 2012), Kota Bau-Bau dengan luas areal perairan
yang dapat dimanfaatkan bagi pengembangan budidaya rumput laut berkisar 960 ha
di sepanjang garis pantai potensial, memberikan sumbangan sebesar Rp. 12,99
juta (baubaukota.go.id). Seiring terus menjamurnya usaha budidaya rumput laut di Sulawesi Tenggara, berdampak posistif dengan munculnya lokasi-lokasi baru sentra budidaya rumput laut, diantaranya Kabupaten Muna, Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Kolaka Utara, Kabupaten Konawe dan Kabupaten Bombana (MandongaBoy 2011).
Menurut
laporan tahunan data statistik perikanan 2011, DKP Provinsi Sulawesi Tenggara,
produksi rumput laut Sultra mengalami peningkatan produksi yang sangat besar.
Produksi rumput laut di tahun 2007 mencapai 81.787 ton, tahun 2008 sebesar
123.486 ton, tahun 2009 sebesar 185 ribu ton, tahun 2010 sebesar 518 ribu ton, dan
meningkat di tahun 2012 mencapai 639 ribu ton.
Tabel 1. Data Produksi Rumput Laut Per Kabupaten/Kota di Sulawesi
Tenggara Tahun 2012.
No.
|
Kab/Kota
|
Produksi (ton)
|
||
1
|
Kota Kendari
|
95,00
|
||
2
|
Kota Bau - Bau
|
118,59
|
||
3
|
Konawe
|
8.343,75
|
||
4
|
Buton
|
21.854,24
|
||
5
|
Muna
|
17.629,85
|
||
6
|
Kolaka
|
218.878,80
|
||
7
|
Konawe Selatan
|
299.244
|
||
8
|
Wakatobi
|
6.315
|
||
9
|
Bombana
|
45.240
|
||
10
|
Kolaka Utara
|
7.100
|
||
11
|
Konawe Utara
|
6.282,10
|
||
12
|
Buton Utara
|
8.090,87
|
||
Budidaya Kerang Mutiara
Mutiara
merupakan salah satu komoditas sektor perikanan budidaya yang bernilai ekonomis
tinggi dan memiliki prospek pengembangan usaha di masa mendatang, seperti
terlihat dari peningkatan permintaan perhiasan dari mutiara dan harganya yang
terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Saat ini, harga mutiara
budidaya Indonesia berkisar 4.000 yen per momme
(3,75 gram) atau sekitar Rp. 414.000.
Sulawesi
Tenggara merupakan salah satu daerah penghasil mutiara jenis South Sea Pearls, “Ratunya Mutiara” yang
berasal dari kerang Pinctada maxima,
baik dari hasil alam maupun budidaya. Mutiara yang dihasilkan oleh Pinctada maxima mempunyai ukuran yang
besar dengan kilau khas. SSP dari P. maxima memiliki keunikan warna
maupun kilaunya yang mempesona dan abadi sepanjang masa, sehingga sangat
digemari di pasar internasional, dan biasanya diperdagangkan dalam bentuk loose
dan jewelry (perhiasan).
Budidaya kerang mutiara di Sulawesi Tenggara
menghasilkan butiran mutiara yang diekspor ke luar negeri. Usaha ini selain
menyerap tenaga kerja, juga merupakan usaha menggali kekayaan laut yang belum
sepenuhnya dikelola. Sayangnya usaha ini membutuhkan modal yang besar, dan
penelitian yang lebih mendalam untuk dapat menghasilkan anakan calon induk (MandongaBoy 2011). Sebab selama ini, pengelola masih dibatasi dengan ketergantungan pada calon
indukan yang didapat dari alam.
Salah
satu lokasi budidaya kerang mutiara di Prov. Sultra yakni di Kecamatan Pasir
Putih dan Pulau Kayu Angin, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Namun, belum ada
data produksi mutiara dari wilayah ini yang dipublikasikan.
Kab.
Buton. Ada dua jenis budidaya mutiara yang kini dibudidayakan dan berkembang di
Kota Bau-bau, yaitu Pinctada maxima
yang menghasilkan mutiara bundar (round
pearl) dan jenis Pteria penqu
yang menghasilkan mutiara blister (haft
pearl). Jenis Pinctada maxima
diusahakan oleh PT. Tiara Indo Pea, sebuah perusahaan PMA dari Jepang.
Sedangkan jenis Pteria penqu selain
diusahakan oleh perusahaan nasional (CV. Selat Buton) juga banyak dibudidayakan
oleh para petani setempat. Produksi mutiara Kab. Buton pada tahun 2012 mencapai
469,92 kg (DKP Sultra 2012).
Budidaya Karamba
Budidaya sistem karamba merupakan salah
satu komoditi unggulan Provinsi Sulawesi Tenggara pada sektor perikanan budidaya. Luas lahan budidaya karamba jaring apung di Kota Kendari, Sulawesi
Tenggara (Sultra) yang dimanfaatkan oleh petani saat ini baru mencapai 95,7
hektare dari potensi yang mencapai 200 hektare. Pada budidaya karamba
dikembangkan beberapa jenis ikan ekonomis penting seperti kerapu, ikan putih/kuwe
dan baronang.
Selama
ini, produksi budidaya ikan karamba jaring apung dan karamba jaring tancap di
Kendari dalam setahun baru mencapai 3,5 sampai 5,0 ton. Sedangkan untuk
produksi total provinsi Sultra mencapai 9 ton pada tahun 2006, pada tahun 2007
mencapai 458 ton, dan meningkat menjadi 548.84 ton pada tahun 2012.
Budidaya Teripang Pasir
Teripang
atau ketimun laut termasuk ke dalam kelas Holothuroidea merupakan salah satu
produk perikanan yang telah lama dikenal dan dikonsumsi oleh masyarakat pesisir
di Indonesia, dan juga sangat dikenal di negara Eropa, Jepang, dan Amerika
Serikat. Selain bernilai ekonomis, kandungan nutrisinya cukup tinggi: kandungan
protein 43,1 %, lemak 2,2 %, kadar air 27,1 %, kadar abu 27,6 %, dan kalsium, natrium, phospor serta mineral lainnya 1,2 - 16,5%. Di pasaran internasional teripang
dikenal dengan nama teat fish
atau gamat, karena kandungan nutrisinya yang tinggi dan sehat
untuk dikonsumsi menyebabkan permintaan dunia akan komoditi ini terus meningkat
dari tahun ketahun.
Jenis
teripang yang banyak dibudidayakan adalah Holothuria scabra atau lebih
dikenal dengan nama teripang pasir atau teripang putih atau teripang kapur
(teripang susu). Teripang pasir banyak ditemukan di perairan jernih dengan
dasar berpasir, hancuran batu karang dan di sekitar terumbu karang. Harga
teripang di pasar lokal berkisar Rp 30.000 – Rp 150.000 per kg, sedangkan di
pasar internasional berkisar antara Rp. 180.000 – Rp. 660.000 per kg kering
bergantung jenis, ukuran dan kualitas pengolahannya (MandongaBoy 2014).
Budidaya
teripang telah lama dilakukan oleh masyarakat kita khususnya yang bermukim di
daerah pesisir termasuk di daerah Sulawesi Tenggara. Seiring dengan dikuasainya
teknologi pembenihan dan pembesaran teripang, maka usaha budidaya teripang pun
ikut mengalami peningkatan. Dalam waktu enam bulan pemeliharaan dari benih
ukuran 100 – 150 g (berat basah), teripang pasir dapat mencapai berat 600 – 700
g (berat basah) saat panen. Bahkan teripang pasir dapat mencapai ukuran 1500 g
apabila dipelihara pada kedalaman 5 – 6 meter selama enam bulan.
Lokasi
pembudidayaan teripang pasir di Sulawesi Tenggara meliputi Kabupaten Kolaka dan
Kabupaten Muna. Data
produksi teripang di beberapa daerah sebagai berikut:
- Kab. Kolaka, 3,7 ton pada tahun 2003 menjadi 7,02 ton pada tahun 2007 (DKP Kab. Kolaka, 2007), dan mencapai 14,6 ton pada tahun 2012
- Kab. Muna, tahun 2012 mencapai 0.59 ton kering.
Masih
kurangnya pemanfaatan potensi lahan budidaya perikanan (kurang dari 10%) sebagaimana
telah dijelaskan di atas, memerlukan perhatian khusus dari segala pihak baik
masyarakat, peneliti dan juga pemerintah. Dengan partisipasi seluruh elemen
tersebut serta promosi potensi wilayah maka diharapkan akan dapat mengundang
ketertarikan investor baru, menciptakan peningkatan peluang dan kemampuan usaha
yang telah berlangsung sebelumnya, serta berpeluang membuka usaha baru di
bidang budidaya perikanan. Sehingga akan menciptakan masyarakat terutama petani
budidaya perikanan yang sejahtera, yang selanjutnya akan berdampak pada
pembangunan dan kemajuan daerah di Sulawesi Tenggara (MandongaBoy 2014).
No comments:
Post a Comment