Thursday, 24 July 2014

Habitat dan Penyebaran Kerang Mutiara (Pinctada maxima)



Kerang mutiara jenis Pinctada maxima disebut juga Shirocho-gai merupakan spesies yang ukurannya paling besar (Shirai 1981; Takemura and Kafuku 1957). Tempat hidupnya mulai dari perairan dangkal dengan dasar perairan berpasir, atau pasir berkarang yang ditumbuhi tanaman lamun sampai laut dalam berkarang. Umumnya hidup menempel pada karang hingga kedalaman 10-75 m (MandongaBoy 2014). Ditemukan juga di perairan laut dalam dengan substrat bersedimen di daerah yang berdekatan dengan landas kontinen dan paparan pulau, dimana airnya agak keruh. Biasanya dapat ditemukan banyak individu tergeletak di atas substrat tanpa bisus (Gervis and Sims 1992; Tun & Winanto 1987; Yukihira et al. 1999, 2006). Di lokasi sekitar budidaya mutiara sering kali ditemukan hidup menempel pada karang di kedalaman 50–100 cm (Winanto et al. 1992).

Gambar 1. Peta penyebaran kerang mutiara

Daerah penyebaran P. maxima mulai dari laut Arafuru, Australia bagian Utara, Philipina, Myanmar, Thailand, Papua New Guinea dan Indonesia. Di perairan Indonesia Pinctada maxima dapat ditemukan mulai dari Kep. Aru, Papua, Laut Banda, Kep. Maluku, Kep. Bacan, Laut Seram, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, pantai Utara Jawa Barat dan Banten, Kalimantan Barat dan Bangka-Belitung. Namun demikian polulasi terbesar berada di daerah Indonesia bagian Tengah dan Timur (Tun and Winanto 1987; Winanto et al. 1992).

Sunday, 20 July 2014

Mengenal Kappa Karagenan dan Iota Karagenan


Kappa karagenan
Kappa karagenan tersusun dari ikatan 1,3 D-galaktosa-4 sulfat. Rasio D galaktosa, 3,6 anhidro-D-galaktosa dan gugus ester sulfat adalah 5 : 6 : 7 (Towle 1973). Secara teoritis kandungan 3,6 anhidro-D-galaktosa pada karagenan adalah 35 % (Moirano 1977). Kappa karagenan mengandung lebih dari 34 % 3,6-anhidro-D-galaktosa dan 25 % ester sulfat (Anonim 1977).

Kappa karagenan jika dimasukkan ke dalam air dingin akan membesar membentuk sebaran kasar yang memerlukan pemanasan sampai 70oC untuk melarutkannya. Suhu pembentukan gel dan kualitas gel dipengaruhi oleh konsentrasi, jumlah dan adanya ion-ion logam seperti K+, NH4+, Ca++, Sr++ dan Ba++. Secara umum karagenan membentuk gel yang keras pada suhu antara 45oC dan 65oC dan meleleh kembali jika suhu dinaikkan sampai 10 – 20oC dari suhu yang telah ditetapkan tadi. Gel yang lebih lemah terbentuk jika terdapat ion NH4+, Ca++, Sr++ dan Ba++. Kappa karagenan mempunyai tipe gel yang rigid atau mudah pecah dicirikan dengan tingginya sineresis, yaitu adanya aliran cairan pada permukaan gel. Aliran ini berasal dari pengerutan gel sebagai akibat meningkatnya gumpalan pada daerah penghubung. Sineresis tergantung pada konsentrasi kation-kation yang ada dan harus dicegah dalam jumlah yang berlebih (Anonim 1977). Gel yang terbentuk dari kappa karagenan berwarna agak gelap dan mempunyai tekstur mudah retak (Fardiaz 1989).

Struktur molekul kappa dan iota karagenan

Iota karagenan
Iota karagenan diisolasi dari Eucheuma spinosum mengandung kira-kira 30 % 3,6 anhidro-D-galaktosa dan 32 % ester sulfat. Iota mempunyai gel yang bersifat elastis, bebas sineresis dan reversible (Anonim 1977). Gel yang terbentuk berwarna lebih jernih dibandingkan jenis kappa karagenan dan mempunyai tekstur empuk dan elastis (Fardiaz 1989). Molekul iota karagenan ditandai dengan adanya 4-sulfat ester pada setiap residu D-galaktosa dan gugusan 2-sulfat ester pada setiap gugusan 3,6-anhidro-D-galaktosa (MandongaBoy 2014).

Iota karagenan mempunyai sifat larut dalam air dingin dan larutan garam natrium. Di dalam larutan garam kation lain seperti K+ dan Ca2+ tidak dapat larut dan hanya menunjukkan pengembangan, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis dan konsentrasi kation, densitas karagenan, suhu, pH, adanya ion penghambat dan yang lainnya. Larutan iota karagenan stabil pada lingkungan elektrolit kuat seperti NaCl 20 – 25 % (Angka dan Suhartono 2000).
Iota karagenan dapat bercampur dengan pelarut polar seperti alkohol, propilen glikol dan gliserin, tetapi tidak dapat bercampur dengan pelarut organik (non-polar). Viskositasnya bergantung pada konsentrasi dan akan menurun dengan meningkatnya suhu. Perubahan tersebut bersifat reversible, dimana penurunan suhu dapat meningkatkan viskositas. Viskositas larutan karagenan tidak dipengaruhi oleh kation monovalen, sedangkan kation divalen cenderung menurunkan viskositas pada konsentrasi tinggi dan meningkatkan viskositas pada konsentrasi rendah. Seperti yang tercantum diatas bahwa larutan iota karagenan bersifat reversible, artinya bila larutan dipanaskan kembali maka gel akan kembali mencair (Angka dan Suhartono 2000).

Karagenan, Produk Rumput Laut Yang Multifungsi


Karagenan adalah senyawa yang diekstraksi dari rumput laut dari Famili Rhodophyceae seperti Euchema spinosum dan Euchema cottonii yang terdiri dari rantai poliglikan bersulfat dengan massa molekuler (Mr) kurang lebih di atas 100.000 serta bersifat hidrokoloid (wikipedia.org). Istilah carrageenan berasal dari bahasa sehari-hari Bangsa Irlandia, yaitu Carraign yang berarti “little rock”. Di Irlandia penggunaan rumput laut untuk ekstraksi gel telah dikenal sejak tahun 1810. Pada saat itu penghasil utama karagenan adalah rumput laut jenis Chondrus crispus. Saat ini jenis rumput laut penghasil karagenan lebih bervariasi dari spesies Gymnogongrus, Eucheuma, Ahnfeltia, dan Gigartina (MandongaBoy 2014).

Karagenan diperoleh melalui ekstraksi dari rumput laut yang dilarutkan dalam air atau larutan basa kemudian diendapkan menggunakan alkohol atau KCl pada suhu yang tinggi. Alkohol yang digunakan terbatas pada metanol, etanol, dan isopropanol.

Rumput laut yang umum dibudidayakan dan merupakan sumber utama penghasil karagenan berasal dari Kelas Rhodophyceae, yang diistilahkan dengan “Carragenophyte” (kelompok Rhodophyceae penghasil karagenan). Yang termasuk dalam kelompok ini adalah rumput laut jenis Chondrus, Gigartina dan Eucheuma. Di Indonesia, spesies yang menjadi sumber karagenan adalah Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum (MandongaBoy 2014).

Dalam pemanfaatannya, karagenan dapat berbentuk garam dengan sodium, kalsium dan potasium (Aslan 1991). Pencampuran karagenan dengan ion kalium akan menghasilkan dua komponen utama yaitu lambda karagenan sebagai fraksi terlarut dan kappa karagenan sebagai fraksi tidak terlarut. Fraksi terlarut tidak akan membentuk gel (Towle 1973).

Berdasarkan kandungan sulfatnya, Doty (1987) membedakan karagenan menjadi dua fraksi yaitu kappa karagenan yang mengandung sulfat kurang dari 28 % dan iota karagenan dengan kandungan sulfat lebih dari 30 %. Istini dan Zatnika (1991) membagi karagenan ke dalam tiga jenis yaitu : lambda-, iota- dan kappa-karagenan. Iota karagenan diekstraksi dari Eucheuma spinosum, sedangkan lambda karagenan dari Chondrus crispus, dan kappa karagenan diekstraksi dari Kappaphycus alvarezii.

Karagenan berfungsi sebagai pengemulsi, bahan pengental, penstabil, pembuatan gel, tablet kapsul, plaster. Karagenan banyak digunakan pada produk pangan dan non pangan. Kurang lebih 80 % produksi karagenan digunakan pada industri makanan, farmasi dan kosmetik. Pada produk pangan, karagenan banyak digunakan untuk membentuk gel dalam agar-agar, selai, sirup, saus, makanan bayi, produk susu, daging, ikan bumbu dan sebagainya. Karagenan dapat digunakan pada makanan hingga konsentrasi 1500mg/kg. Senyawa ini banyak digunakan untuk mengentalkan bahan non-pangan utamanya produk kosmetik seperti pasta gigi, shampo, dan hasilnya digunakan juga pada industri tekstil dan cat (Angka dan Suhartono 2000).

Tuesday, 8 July 2014

Total Hemocyte Count (THC), Kadar proPO dan PO Pasca Ablasi Tangkai Mata Pada Crustacea



Ablasi tangkai mata pada kepiting Potamon persicum memicu peningkatan yang signifikan terhadap nilai Total Hemocyte Count (THC) pada akhir minggu kedua dan ketiga ablasi (Khazraeenia dan Khazraiinia 2009). Rata-rata THC pada kepiting utuh (tidak diablasi) pada minggu ke 0 adalah 3.921 ± 103. Tidak ada perbedaan yang nyata antara THC dari kepiting yang diablasi (4.096 ± 147) dan kontrol (3.916 ± 153) terjadi pada minggu 1, meskipun ini tidak signifikan (p> 0,05). THC dari kepiting yang diablasi adalah 4.449 ± 165 pada minggu ke 2 dan 5273 ± 190 pada 3 minggu, nyata meningkat jika dibandingkan dengan kelompok kontrol pada minggu ke 2 (3.913 ± 152) dan minggu 3 (3.917 ± 151; p <0,05; Gambar 1.).
Gambar 1. Total hemocyte count (THC) per mm3 hemolymph pada kepiting
         Pada crustacea, aktifitas hemopoietic dibawah kendali hormon. Pengaruh stimulasi kelenjar sinus X-organ kompleks yang terletak di eyestalks, dan efek hambat Y-organ di haematopoiesis krustasea telah dibahas oleh Ghiretti-Magaldi (1977); Khazraeenia dan Khazraiinia (2009). Dalam setiap bintil organ hemopoietic, batang-sel atau hemoblasts mengalami mitosis teratur untuk memproduksi berbagai macam hemosit (Bauchau 1981; Johansson (2000); Khazraeenia dan Khazraiinia (2009). Sebuah pengendalian hormonal dari kegiatan hemopoietic ini telah diteliti dengan benar pada kepiting, sejak pengangkatan kelenjar sinus di eyestalks ditandai dengan peningkatan mitosis. Ini adalah mungkin di bawah pengaruh organ-Y, setelah dibebaskan dari hambatan kelenjar sinus (MandongaBoy 2014). Berbeda dengan hasil penelitian Hernandez et al. (2008) yang mengemukakan bahwa jumlah hemosit tidak dipengaruhi secara signifikan oleh EA atau seks, meskipun ada kecenderungan ke arah penurunan jumlah hemosit dengan derajat EA (Gambar 2.).
Gambar 2. Total hemocytes count (THC) pada Litopenaeus vannamei yang diablasi secara unilateral (U), bilateral (B) dan kontrol (C).
        Selanjutnya dilaporkan juga bahwa kadar proPO dan aktivitas PO jauh lebih rendah pada udang dengan bilateral ablasi dibandingkan dengan perlakuan kontrol atau unilateral ablasi udang (efek utama dari EA, Pb0.05;. Gambar 3. a dan b) dan efek ini adalah independen dari jenis kelamin udang.
Gambar 3. Pengaruh ablasi tangkai mata terhadap kadar prophenoloxidase (proPO) hemolymph dan phenoloxidase activity (PO) pada Litopenaeus vannamei yang di ablasi secara unilateral (U), bilateral (B) dan kontrol (C).
      Fungsi sistem pertahanan humoral dan seluler  telah diselidiki secara luas pada krustasea dan serangga (untuk review lihat Olafsen 1988; Johanson dan Söderhäll 1989; Vargas-Albores 1995). Penelitian terbaru pada serangga menunjukkan bahwa beberapa sistem neuroendokrin memodulasi sistem pertahanan humoral dan seluler. Unilateral ablasi pada Farfantepenaeus  paulensis betina menyebabkan penurunan total hemosit (Perazzolo et al. 2002; Hernandez et al. 2008). Dalam investigasi yang dilakukan oleh Maggioni et al. (2004) pada L. vannamei, diperoleh penurunan yang tidak signifikan. Dalam penelitian tersebut, non signifikan tren, terkait dengan tingkat EA hanya diperoleh pada jantan. Pada Drosophila melanogaster, Sorentino et al. (2002) menemukan bahwa kekurangan dari ecdysteroids membahayakan respon imun selular, mengurangi hemosit proliferasi dan enkapsulasi.
          Penurunan hemocyte tidak signifikan pada udang dengan bilateral ablasi, terutama pada jantan,  juga dapat berkontribusi pada berkurangnya aktivitas proPO yang dihasilkan oleh semi-granular dan granular hemocyte (Sritunyalucksana dan Söderhäll, 2000 dalam Hernandez et al. 2008). Selain itu, penurunan aktifitas PO pada udang dengan bilateral ablasi dapat berakibat langsung terhadap rendahnya level proPO atau menurunya aktifitas (MandongaBoy 20114) proPO-activating enzyme, suatu proteinase serine yang mengubah proPO menjadi PO (Sritunyalucksana dan Söderhäll, 2000). Hernandez et al. (2008)  menemukan pengurangan total PO (proPO + PO) pada F. paulensis yang diablasi secara unilaterall, tetapi  Maggioni et al. (2004) tidak menemukan pengaruh ini pada L. vannamei. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hernandez et al. 2008 dikemukakan bahwa pengurangan total proPO hanya terjadi pada udang dengan bilateral ablasi.
            Selain partisipasi PO dalam sistem pertahanan internal, enzim berpartisipasi dalam proses melanization cuticular pada krustasea dan serangga. Percepatan proses molting yang disebabkan oleh EA mungkin menghasilkan peningkatan produksi melanin melalui PO sistem. Namun, tidak diketahui apakah PO dalam hemocyte berpartisipasi dalam penggabungan melanin dalam exoskeleton. Pada serangga, PO bertanggung jawab untuk melanization cuticular yang diproduksi dalam epidermis (Hiruma dan Riddiford 1993 dalam Hernandez et al. 2008).