Friday, 27 February 2015

Sekilas Tentang Biologi Spons



Spons diklasifikasikan ke dalam kingdom Animalia atau hewan, sub-kingdom Metazoa, dan filum Porifera. Spons dimasukkan ke dalam filum Porifera dikarenakan seluruh tubuhnya yang berpori dimana dalam bahasa Latin “Porifera” berarti memiliki pori (Pechenik 2005). Spons memiliki 3 pembagian dasar struktur tubuh, yaitu asconoid, syconoid dan leuconoid. Sebagian besar spesies spons memiliki struktur tubuh leuconoid (M’Boy 2014). Berdasarkan komposisi kimia dan morfologinya filum Porifera terbagi atas tiga kelas, yaitu: Calcarea, Demospongiae, dan Hexactinellida. Namun saat ini telah diketahui kelas ke-4 dari filum ini, yaitu: Sclerospongia terdiri atas 16 spesies yang memiliki struktur leuconoid dan hanya terdapat di bagian gua-gua dan celah-celah terumbu karang yang gelap (Pechenik 2005).

Spons pada umumnya berwarna putih atau abu-abu, dan ada pula yang berwarna kuning, jingga, merah, atau hijau. Spons yang berwarna hijau biasanya disebabkan oleh adanya alga simbiotik yang disebut sebagai zoochlorellae yang terdapat di dalamnya (Romimohtarto & Juwana 1999). Warna spons tersebut sebagian dipengaruhi oleh fotosintesis mikrosimbionnya. Mikrosimbion spons pada umumnya adalah cyanophyta (sianobakteria dan eukariot alga seperti dinoflagellata atau zooxanthellae). Beberapa spons memiliki warna yang berbeda walaupun termasuk dalam jenis yang sama. Beberapa spons juga memiliki warna dalam tubuh yang berbeda dengan pigmentasi luar tubuhnya. Spons yang hidup di lingkungan yang gelap akan berbeda warnanya dengan spons sejenis yang hidup pada lingkungan yang cerah (Wilkinson 1980).

Spons termasuk hewan filter feeder yang menyaring air yang memasuki tubuhnya melalui pori-pori kecil yang disebut sebagai ostia sebagai tempat masuknya air laut untuk bersirkulasi melalui sejumlah saluran atau kanal dimana partikel-partikel plankton dan organik akan dimakan dan disaring keluar kembali. Pori-pori tersebut dan sistem kanal tersebut berfungsi untuk menyaring air setiap 5 detik (M’Boy 2014). Kanal-kanal tersebut adalah choanocytes yang merupakan lapisan sel yang terdapat pada bagian dalam mesohyl, sejajar dengan spongocoel. Sel ini memiliki struktur yang menyerupai protozoa choanoflagelata. Choanocyte berbentuk bulat, dengan satu ujungnya terhubung ke mesohyl. Partikel-partikel plankton dan organik tersebut di pompa masuk menuju ruang makan yang lebih besar yang disebut sebagai spongocoel. Sel choanocyte berperan dalam pergerakan air dalam tubuh spons dan untuk menyediakan makanan (Rupert & Barnes 1994). Pada bagian atas tubuhnya terdapat kanal yang berfungsi sebagai tempat keluarnya air yang disebut osculum dengan jumlah yang lebih sedikit daripada ostia.

Proses interaksi antara spons dan mikroba simbionnya belum sepenuhnya diketahui. Beberapa teori mengemukakan bahwa proses rekruitmen mikroba simbion dilakukan spons pada saat proses filter feeder. Dikatakan bahwa spons mengandung komunitas mikroba yang beragam dan kompleks, yang secara genetik berbeda dengan mikroba yang ditemukan di plankton dan sedimen laut (Fieseler et al. 2004). Spons juga bersimbiosis dengan beberapa mikroorganisme, seperti bakteri. Menurut Friedrich et al. (2001), diperkirakan sekitar 40% biomassa beberapa spons disusun oleh komunitas bakteri. Bakteri-bakteri tersebut merupakan simbion dalam tubuh spons. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa simbion-simbion tersebut memiliki peranan dalam produksi senyawa bioaktif yang berfungsi dalam adaptasi ekologi spons (Proksch et al. 2003; Thakur & Müller 2004; Ismet 2007).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa selain mikroba episimbion yang melekat pada bagian permukaan spons selama masa pertumbuhan, beberapa bakteri dan fungi diturunkan secara genetis dalam tubuh spons (Ismet 2007). Telah diketahui bahwa mikroba simbion spons memiliki peran menjaga kestabilan pertumbuhan dan kesehatan spons. Simbion-simbion tersebut memiliki peran penting dalam penyediaan energi dan nutrisi (Ismet 2007), beberapa spons hidup secara simbiosis dengan sianobakteria, yang berfungsi sebagai penyuplai nutrien melalui proses fotosintesis (Sjögren 2006), menghambat mikroba patogen, serta sebagai pelindung terhadap radiasi sinar UV dan penghasil enzim antioksidan (Ismet 2007).

Peran Ekologis Lamun



Kehadiran padang lamun di perairan dangkal sangat penting karena perannya sebagai produsen primer, pendaur ulang zat hara, tempat memiijah dan mencari makan berbagai biota bentik dan ikan, stabilisator dasar, penangkap sedimen dan penahan erosi (Kikuchi & Peres 1977). Sebagai produsen primer, lamun memfiksasi sejumlah karbon organik dan sebagian memasuki rantai makanan di laut. Kandungan bahan organik di lamun yang tinggi berasal dari serasah daun lamun. Sebagai habitat biota, lamun memberikan perlindungan bagi beberapa jenis biota baik yang menempel di daun, berada di atas akar dan rhizoma, maupun pada sedimen dasar sehingga terlindung dari predator (Fortes 1990). Sebagai sumber makanan, biota yang menghuni padang lamun dapat memakan tumbuhan lamun secara langsung (direct grazing) maupun melalui jalur detritus (Wood et al. 1969; Philips & Menez 1988). McRoy & Helfferich (1980) melaporkan bahwa salah satu avertebrata yang memakan daun lamun secara langsung adalah bulu babi, sedangkan dari kelompok vertebrata yaitu beberapa ikan (Scaridae, Acanthuridae), penyu dan duyung, sedangkan bebek dan angsa memakan lamun ketika lamun tersebut muncul pada surut terendah.

Dalam kaitannya dengan peran lamun sebagai habitat, Kikuchi (1980) menyebutkan bahwa terdapat lima hal pokok dari ekosistem lamun dalam kaitannya sebagai penyusun suatu habitat yaitu: 1) lamun membentuk vegetasi lebat di bawah permukaan air dan menyediakan lapisan dasar yang ada bagi organisme penggali dan epifit, 2) vegetasi yang lebat tersebut menenangkan gerakan air yang ditimbulkan oleh arus dan gelombang, 3) dengan keadaan hidrodinamik yang tenang, mineral dan partikel organik dalam air dengan mudah dapat mengendap di dasar perairan, dimana endapan dari serasah lamun yang membusuk dan partikel organik lainnya membentuk suatu lingkungan yang sesuai bagi kehidupan mikroorganisme dan hewan bentik lainnya, 4) daun-daun lamun mereduksi cahaya yang berlebihan sehingga menjadi teduh dan melindungi organisme yang ada di bawahnya, 5) berdasarkan penyebab di atas, maka padang lamun merupakan habitat yang baik bagi juvenil dan nekton bahari berukuran kecil untuk mendapatkan tempat berlindung dan mencari makanan.

Selanjutnya, Howard et al. (1989) membagi empat grup besar fauna yang menghuni padang lamun, yaitu: 1) infauna, merupakan hewan yang hidup di dalam sedimen di antara rhizoma, 2) epifauna motil, merupakan hewan yang berukuran kecil dan bergerak berasosiasi dengan permukaan sedimen, hancuran lamun dan di helaian daun, 3) epifauna sessil, merupakan hewan yang hidup secara permanen melekat di helaian lamun, 4) fauna epibentik, merupakan hewan yang berukuran lebih besar, mampu bergerak bebas dan lebih berasosiasi dengan padang lamun daripada lamun secara individual.

Wednesday, 11 February 2015

Sekilas Tentang Morfologi Rajungan (Portunus pelagicus)



Secara umum morfologi rajungan (Portunus pelagicus) berbeda dengan kepiting bakau.  Rajungan memiliki bentuk tubuh yang lebih ramping dengan capit yang lebih panjang dan memiliki berbagai warna yang menarik pada karapasnya. Duri akhir pada kedua sisi karapasnya relatif lebih panjang dan lebih runcing. Rajungan hanya hidup pada lingkungan air laut dan tidak dapat hidup pada kondisi tanpa air. Cukup dengan melihat warna dari karapas dan jumlah duri pada karapasnya, maka dengan mudah dapat dibedakan dengan kepiting bakau (Kasry 1996).

Dari beberapa jenis crustacea yang dapat berenang (swimming crab), sebagian besar merupakan jenis rajungan. Sebagai contoh yang banyak terdapat di Teluk Jakarta ada 7 jenis rajungan yaitu Portunus pelagicus, Portunus sanguinolentus, Thalamita crenata, Thalamita danae, Charybdis cruciata, Charibdis natator, Podophthalmus vigil. Namun menurut informasi menyebutkan bahwa ada 11 jenis rajungan yakni Portunus pelagicus Linn, Portunus sanguinolentus Herbst, Portunus sanguinus, Portunus trituberculatus, Portunus gladiator, Portunus hastafoides, Thalatmita crenata Latr., Thalatmita danae Stimpson, Charybdis cruciata, Charibdis natator Herbst, Podophthalmus vigil Fabr. (Nakamura 1990; Soim 1996; Supriyatna 1999), Portunus trituberculatus banyak ditemukan di Jepang, Cina, Taiwan, dan Korea. Menurut Soim (1996) nilai gizi dari bagian tubuh jenis rajungan yang dapat dimakan (edible portion) mengandung protein 65.72%, mineral 7.5% dan lemak 0.88%.

Induk rajungan mempunyai capit yang lebih panjang dari kepiting bakau, dan karapasnya memiliki duri sebanyak 9 buah yang terdapat pada sebelah kanan kin mata. Bobot rajungan dapat mencapai 400 g dengan ukuran karapas sekitar 300 mm (12 inci). Ukuran rajungan antara yang jantan dan betina berbeda pada umur yang sama. Ukuran jantan lebih besar dan berwarna lebih cerah serta berpigmen biru terang, sedang yang betina berwarna sedikit lebih coklat (Cowan 1981). Rajungan (Portunus pelagicus) memiliki karapas berbentuk bulat pipih, sebelah kiri-kanan mata terdapat sembilan buah duri, dengan duri terakhir berukuran lebih panjang. Rajungan mempunyai 5 pasang kaki, yang terdiri atas 1 pasang kaki (capit) berfungsi sebagai pemegang, 3 pasang kaki sebagai kaki jalan, dan 1 pasang kaki berfungsi sebagai dayung untuk berenang. Nontji (1986) menyatakan rajungan mempunyai 5 pasang kaki jalan, kaki jalan pertama ukurannya besar, memiliki capit dan kaki jalan terakhir mengalami modifikasi sebagai alat berenang. Kaki jalan pertama tersusun atas daktilus yang berfungsi sebagai capit, propodus, karpus, dan mems. Sedangkan kaki ke lima mengalami modifikasi pada daktilusnya berbentuk pipih dan menyerupai dayung untuk berenang.

Thursday, 5 February 2015

Musim Pemijahan Ikan Kembung (Restrelliger sp.)



Musim pemijahan ikan kembung perempuan berlangsung selama beberapa bulan, dari Mei – Oktober di Tanjung Satai (Kalimantan Barat). Ikan kembung lelaki mempunyai dua musim pemijahan di Laut Jawa, yaitu berlangsung dalam musim Barat dari Oktober-Februari dan musim Timur dari bulan Juni-September. Jenis ini diduga banyak memijah di sebelah Utara Tanjung Satai, Laut Cina Selatan, Samudera Hindia dan Laut Flores (Burhanuddin et al. 1984).

Waktu pemijahan ikan kembung lelaki diduga berlangsung antara bulan April-Agustus dan Desember dengan puncak pemijahan pada bulan Agustus. Daerah pemijahan diduga sekitar kepulauan Karimun Jawa dan Matasiri (Nurhakim 1993). Sujastani (1974) mengemukakan ikan kembung lelaki bertelur dua kali dalam setahun, dari bulan Oktober-Januari dan bulan Juni-September, sedangkan Burhanuddin dan Djamali (1977) menduga ikan kembung lelaki di Teluk Jakarta bertelur dari bulan Februari-April dan dari bulan Juni-September.

Periode pemijahan ikan kembung lelaki di sebelah Barat India berlangsung dalam waktu yang lama, bulan Maret dan berakhir sekitar bulan Oktober atau November (Menon & Radhakrishnan 1974). Musim pemijahan ikan kembung lelaki di Selat Malaka berlangsung pada bulan Mei-Oktober dan Desember-Maret. Lokasi pemijahan diduga terletak dibagian Utara Selat Malaka (Hariati et al. 2005).