Ikan
merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi manusia
karena mengandung omega-3 serta omega-6 yang tinggi. Saat ini ikan merupakan
salah satu menu yang wajib tersedia di atas meja makan, khususnya bagi masyarakat di
negara-negara maju terutama di Jepang, Cina, Hongkong, dan Eropa. Cara penyajiannya pun bervariasi. Bakar,
goreng, sushi, pepes, berkuah/tanpa kuah, tergantung selera lidah masing-masing.
Kebutuhan
pasar yang tinggi diimbangi dengan produksi ikan
dalam jumlah yang besar melalui
sistem budidaya intensif (budidaya air laut, tawar dan payau) dengan tingkat
kepadatan tinggi. Akan tetapi, dengan tingkat kepadatan tinggi tersebut
menyebabkan ikan rentan terhadap serangan penyakit baik viral maupun bakterial (MandongaBoy 2014).
Serangan penyakit terutama yang disebabkan oleh virus masih menjadi salah satu permasalahan utama
dalam kegiatan budidaya ikan. Angka kematian
kumulatif yang terkait dengan wabah
penyakit viral telah memiliki dampak negatif yang besar pada industri budidaya berupa kerugian ekonomi yang cukup signifikan
(Gilad et al.
2003), sehingga perlu perhatian khusus dalam penanganannya.
Salah satu upaya
pencegahan terhadap penyakit khususnya yang disebabkan oleh infeksi viral dapat
dilakukan dengan cara vaksinasi. Sebagai alternatif penggunaan bahan kimia dan
antibiotik, vaksin merupakan cara yang menjanjikan untuk mengendalikan patogen
menular seperti virus pada ikan budidaya. Salah satu
jenis vaksin yang banyak dikembangkan saat ini adalah vaksin DNA. Dibandingkan vaksin
konvensional, vaksin DNA menawarkan metode imunisasi
yang dapat mengatasi
banyak kelemahan terutama risiko infeksi dan biaya tinggi (Verri et al. 2003). Vaksin DNA juga bersifat stabil dibandingkan jenis vaksin lainnya, sehingga memudahkan dalam
penyimpanan dan yang terpenting adalah kemampuan vaksin DNA untuk mengaktivasi sistem kekebalan tubuh baik spesifik maupun non-spesifik (humoral & seluler)
(Lorenzen & LaPatra 2005) melalui inokulasi DNA yang mengandung sekuen plasmid
DNA asal virus tertentu yang bersifat imunogenik (Faizal 2010).
Penggunaan
vaksin DNA pada ikan
budidaya hingga saat ini telah banyak diteliti, baik di luar maupun dalam
negeri, dan hasilnya pun menunjukkan sesuatu yang sangat menjanjikan bagi
perkembangan dan keberlanjutan industri budidaya perikanan. Aplikasi vaksin DNA
terhadap beberapa jenis ikan telah menunjukkan efektifitas yang tinggi, dengan tingkat kelangsungan hidup ikan yang divaksinasi dapat mencapai 80-90% (MandongaBoy 2014). Seperti
yang telah diujikan pada ikan rainbow
trout untuk infectious haematopoietic necrosis virus (IHNV) oleh Anderson (1996) serta Kim (2000) dan viral haemorrhagic
septicaemia virus (VHSV) Lorenzen (1998); Boudinot (1998); Lorenzen (2002); Lorenzen &
LaPatra (2005),
ictalurid herpes virus 11 (IHV-1) pada
channel catfish (Ictalurus
punctatus) (Nusbaum 2002), serta KHV pada ikan mas (Nuryati 2010). Berdasarkan
data hasil uji coba penggunaan vaksin DNA tersebut, menunjukkan bahwa vaksin
DNA dapat memicu dan meningkatkan respon sistem imun ikan, baik imunitas bawaan
(non-spesisifik) maupun imunitas adaptif (spesifik) sehingga ikan menjadi kebal terhadap inveksi virus.
Respon kekebalan (sistem imun) tubuh
terdiri dari pertahanan bawaan dan pertahanan adaptif (Nehyba et al. 2002). Ikan teleost memiliki
sistem pertahanan antiviral bawaan (non-spesifik) berupa interferon (IFN) yang
memainkan peran yang krusial pada respon imunitas non-spesifik saat inveksi
virus dengan memproduksi dan mensekresikan IFN-a/β
(Gahlawat et al. 2009; Robertsen
2008). Interferon menghasil interferon regulatory
factor (IRF) yang merupakan regulator utama pada sistem imun nonspesifik
terhadap inveksi viral (Bergan et al.
2010, berperanan penting dalam aktivasi
transkripsi gen IFN dan memiliki pengaruh utama dalam memahami mekanisme
molekular patogen yang menginduksi respon antivirus bawaan
dan merupakan regulator kunci dari ekspresi gen IFN pada saat induksi virus (Yao et al. 2012; Honda 2006).
Respon imun adaptif diinduksi oleh
antigen yang disajikan oleh molekul Major
Histocompatibility Complex (MHC) (Nehyba et al. 2002), yang
mengaktifkan ekspresi sel imun seperti CD4 dan CD8 yang berfungsi untuk
mengikat antigen/virus,
pertahanan sel dan mengeliminasi antigen/virus
(Yanuhar 2011). Respon imun dimulai oleh sel-sel APC (antigen presenting cells) yaitu sel-sel dendrit maupun makrofag
setelah vaksinasi dengan vaksin DNA. Sel-sel APC yaitu makrofag dan sel-sel
dendrit berisi plasmid DNA yang kemungkinan akan ditranskripsi dan ditranslasi
sehingga menghasilkan protein imunogenik, menyembunyikan adanya infeksi patogen
intraseluler (cytosolic pathway) dan
berikutnya mempresentasikan antigen berupa protein asing di permukaan sel.
Molekul
MHC menyajikan
peptida endogen ke sel T sitotoksik serta
peptida eksogen ke sel T helper (Rakus et
al. 2003). MHC bertugas untuk memonitor
patogen intraseluler dan terjadinya tumor yang
pada gilirannya dapat menghilangkan sel-sel yang terinfeksi dengan mekanisme
sitotoksik, menyebabkan aktivitas sel fagositik, produksi antibodi, dan
aktivasi sifat imunologi yang terlibat dalam eliminasi parasit, bakteri, jamur
dan netralisasi virus (Moulana et al.
2008; Rakus et al. 2009).
Aktivasi
respon imun sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat berlangsung akibat
adanya induksi dari gen glikoprotein yang berasal dari virus tertentu, yang secara
sengaja disisipkan pada konstruksi vaksin DNA. Dengan pemberian vaksin DNA pada
ikan budidaya, diharapkan ikan tersebut akan mampu menghasilkan antibodi
sehingga ikan menjadi kebal apabila terpapar virus selama masa budidaya. Dan
diharapkan pula ikan yang telah divaksinasi tersebut apabila kemudian
dikembangkan sebagai induk/tetua, akan menghasilkan anakan/keturunan yang tahan
terhadap inveksi virus (MandongaBoy 2014).
No comments:
Post a Comment