Subtitusi tepung ikan dengan bahan tanaman kaya protein dalam pakan ikan telah banyak menjadi objek penelitian
nutrisi
(Burel et al. 1998) karena meningkatnya biaya dan ketersediaan tepung ikan
yang tidak menentu (Pereira et al. 2002). Bagaimanapun, tepung ikan dan sumber protein nabati berbeda dalam beberapa hal terutama tingkat protein, profil asam amino, kadar energi, dan kandungan mineral. Selain itu, protein nabati juga mengandung komposisi serat yang tinggi dan satu atau lebih faktor anti nutrisi (ANFs) yang mungkin memiliki
dampak
merugikan terhadap nilai nutrisi dan palatabilitas (M’Boy 2013).
Tepung kedelai dan polong-polongan
merupakan produk tanaman yang umum digunakan sebagai subtitusi tepung ikan. Namun, sejumlah
penelitian membuktikan selain tepung kedelai dan polong-polongan terdapat
berbagi produk tanaman yang potensial digunakan sebagai subtitusi tepung ikan,
antara lain biji lupin (lupin seed)
(Burel et al. 1998; 2000), tepung gluten jagung (corn gluten meal) (Regost et al. 1999), minyak/tepung biji rapa (canola/rapeseed meal) (Burel et al.
2000), tepung daun leucaena (leucaena
leaf meal), tepung biji kapas (cottonseed
meal), tepung wijen (sesame meal),
minyak/tepung moster (mustrad oil/meal)
(Francis et al. 2001), tepung kubis (cabbage
meal) (Pereira et al. 2002), tepung daun alfalfa (alfalfa leaf meal) (Chatzifotiz et al. 2006), tepung bunga matahari
(sunflower meal) (Merida et al. 2010)
dan lain sebagainya.
Hormon memainkan peranan penting dalam
mengatur pertumbuhan dan pemanfaatan nutrisi pada ikan. Konsekuensinya, sistem
endokrin ikan sangat sensitif terhadap perubahan masukan nutrisi yang diterima.
Nutrisi mungkin mempengaruhi fungsi endokrin dalam tindakan atas sintesis,
sekresi, konversi dan penerimaan hormon (Gambar 1) (MacKenzie et al. 1998).
Meski demikian kenyataannya fungsi endokrin jarang dievaluasi dalam penelitian
nutrisi ikan.
|
Gambar 1. Kelenjar endokrin utama pada ikan secara langsung dipengaruhi oleh masukan nutrisi organik (MacKenzie et al. 1998) |
Pada ikan, hormon tiroid telah
dipelajari paling ekstensif dibandingkan hormon lainnya. Sejumlah penelitian menunjukkan hubungan
antara pemanfaatan nutrisi dan fungsi tiroid. MacKenzie et al. (1998)
menyebutkan komposisi protein, karbohidrat dan lemak pada pakan yang diberikan
pada ikan mempengaruhi produksi hormon tiroid. Hormon tiroid berperan dalam
mengatur pertumbuhan ikan dan pemanfaatan energi melalui metabolisme lemak dan
karbohidrat, memobilisasi lemak, metabolisme nitrogen dan memacu hormon
pertumbuhan (Leatherland 1994). Oleh karenanya
status tiroid baik digunakan sebagai indikator pertumbuhan ikan (Burel et al. 1998).
Pada vertebrata,
tiroksin
(T4) adalah produk sekretori utama folikel tiroid meskipun
3,5,3’-triiodotironine (T3) adalah hormon
biologis aktif. Aktivitas
iodotironine deiodinase
memainkan peran penting dalam pengaturan konsentrasi hormon tiroid peripheral (Burel et al. 1998). Penelitian terbaru menunjukkan bahwa aktivitas deiodinase serupa pada mamalia juga ditemukan dalam lima jenis teleost, termasuk rainbow
trout
(Mol et al. 1998).
Diet rendah protein pada rainbow trout diketahui mengurangi kadar
plasma T4, mengurangi konversi T4 ke T3, dan
menurunkan tingkat pertumbuhan. Formasi T3 yang lebih besar
ditemukan pada hewan yang mengkonsumsi diet dengan kadar protein tinggi. Hal
ini menunjukkan protein merupakan faktor penting yang mempengaruhi produksi
hormon tiroid seluler-aktif pada ikan (Mackenzie et al. 1998) dan
secara umum kadar plasma T3 berhubungan dengan performa pertumbuhan
(Mackenzie et al. 1993). Lebih lanjut, penelitian Eales et al. (1993) pada
salmon menemukan bahwa karbohidrat lebih berperan sebagai pengatur sekresi T4,
dan protein berfungsi sebagai sinyal untuk mengaktifkan pembentukan T3.
Faktor Anti Nutrisi (ANFs)
Sebagian besar tanaman
yang memiliki potensi sebagai alternatif subtitusi tepung ikan diketahui
mengandung berbagai zat anti nutrisi (Tabel 1)
yang dapat mengganggu pencernaan, pemanfaatan protein dan mineral, anti-vitamin
sehingga mempengaruhi kesehatan hewan (Makkar 1993).
Tabel 1. Anti nutrisi penting yang terkandung dalam tanaman
yang umumnya digunakan sebagai alternatif subtitusi tepung ikan (Francis et al.
2001)
Sumber
nutrisi
|
Antinutrisi
yang terkandung
|
Tepung kedelai
|
Protease inhibitors, lectins, phytic
acid, saponins, phytoestrogens, anti-vitamins, allergens
|
Tepung biji rape
|
Protease
inhibitors, glucosinolates, phytic acid, tannins
|
Tepung biji lupin
|
Protease
inhibitors, saponins, phytoestrogens, alkaloids
|
Tepung kacang polong
|
Protease inhibitors, lectins,
tannins, cyanogens, phytic acid, saponins, anti-vitamins
|
Minyak bunga matahari
|
Protease
inhibitors, saponins, arginase inhibitor
|
Tepung biji kapas
|
Phytic acid, phytoestrogens,
gossypol, anti-vitamins, cyclopropenoic acid
|
Tepung daun leucaena
|
Mimosine
|
Tepung daun alfalfa
|
Protease
inhibitors, saponins, phytoestrogens, anti-vitamins
|
Minyak moster
|
Glucosinolates,
tannins
|
Tepung wijen
|
Phytic
acid, protease inhibitors
|
Brassica (biji rapa dan
kubis) diketahui mengandung glukosinolat (GLS) dimana, setelah dihidrolisis
oleh enzim miosinase dapat menghasilkan isothiosianat, anion tiosianat, dan vinyloxazolidinethiones. Metabolit GLS memiliki aktivitas
goitrogenik di binatang termasuk
ikan,
yaitu blok organifikasi dalam folikel tiroid, sehingga menghambat produksi T4 dan T3. Hasilnya adalah peningkatan sekresi thyroid stimulating hormone karena kadar plasma T4 dan T3 yang rendah (Burel et al 2000).
Selain GLS pada biji rapa juga terdapat
beberapa komponen kecil yang mungkin memiliki efek anti nutrisi (Bell 1993). Tannin dalam tepung biji rape tampaknya tidak memiliki efek
negatif yang sama pada palatabilitas dan kecernaan protein sebagaimana efek
negatif yang ditimbulkan tannin yang terkandung pada tanaman lain (Enami 2011). Sinapin mungkin memiliki rasa pahit yang memberikan
dampak terhadap palatabilitas, namun rasa pahit
pada tingkat yang ditemukan di tepung biji rape tidak mempengaruhi konsumsi
pakan atau tingkat pertumbuhan (Qiao dan Classen 2003).
Sementara, pada lupin anti nutrisi yang
utama berupa alkaloid, komponen yang memberikan dampak merugikan terhadap
palatabilitas. Dalam perkembangannya, pemulia tanaman telah mengembangkan strain
lupin putih (Lupinus albus) dengan
kandungan alkaloid yang rendah (Burel 2000) sehingga dampak terhadap
palatabilitas dapat dikurangi.
Pertumbuhan dan Status Tiroid
Komposisi ekstrak lupin sampai 50% pada
diet rainbow trout dan turbot
memberikan performa pertumbuhan yang tidak jauh berbeda dengan kontrol, namun
70% penggantian tepung ikan dengan ekstrak lupin menyebabkan performa
pertumbuhan yang rendah secara nyata (Burel et al. 1998; 2000). Inkorporasi
ekstrak lupin pada diet rainbow trout menyebabkan dikonversinya plasma T4
menjadi T3, tetapi pengaruh ini belum seluruhnya dapat dijelaskan sebab tidak
selalu berulang pada eksperimen-eksperimen berikutnya (Gambar 2) (Burel et al.
1998). Pada turbot mekanisme naiknya plasma T3 tidak dapat dijelaskan dengan
turunnya plasma T4 karena proses konversi, diet ekstrak lupin menyebabkan
naiknya plasma T4 dan T3 (Burel et al. 2000). Namun secara umum kadar plasma T3 berhubungan
dengan performa pertumbuhan pada diet pakan berbasis ekstrak lupin (Gambar 3)
(Burel et al. 1998).
|
Gambar 2. Konsentrasi plasma T3 dan T4 rainbow trout diukur di akhir periode pemberian pakan untuk masing-masing perlakuan diet pada percobaan 1, 2, dan 3. Data pengambilan sampel diurnal dan nocturnal pada percobaan satu digabung. Rerata dengan standar deviasi (n=30 pada percobaan 1, dan n=15 pada percobaan 2 dan 3) |
|
Gambar 3. (A) Regresi linier antara komposisi lupin (%) pada pakan dengan kadar plasma T4 (ng/ml) rainbow trout yang diukur diakhir periode pemberian pakan pada percobaan 1. (B) Korelasi antara index pertumbuhan harian (DGI, %/hari) diukur selama 3 minggu terakhir dan kadar plasma T3 (ng/ml) rainbow trout yang diukur di akhir periode pemberian pakan pada percobaan 1. |
Secara linier besarnya komposisi tepung
kubis dalam diet juvenil rainbow trout
memberikan dampak negatif terhadap berat
badan akhir dan laju pertumbuhan
spesifik. Selain itu diet yang
mengandung tepung kubis
berhubungan dengan kadar plasma T3
yang secara signifikan lebih rendah daripada
diet
yang hanya mengandung tepung ikan karena adanya faktor anti-nutrisi
(glukosinolat/GLS), meskipun tidak memberikan dampak signifikan terhadap kadar
plasma T4. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor anti-nutrisi
mempengaruhi konversi enzimatik plasma T4 ke T3. Dengan demikian, dimasukkannya tepung kubis dalam diet pakan rainbow trout dapat diterima sampai tingkat tertentu (Pereira et al. 2002).
Tabel 2. Specific growth rate (SGR) dan konsentrasi plasma T3 dan
T4 rainbow trout diukur diakhir
periode pemberian pakan pada masing-masing perlakuan diet
|
Diet
|
Kontras Linier
|
Kontras Kuadrat
|
Tepung Ikan
|
Tepung Kubis
(g/kg)
|
160
|
250
|
320
|
SGR
|
2,7 (0,1)
|
2,5 (0,1)
|
2,5 (0,1)
|
2,2 (0,1)
|
***
|
NS
|
T4 (ng/ml)
|
9,1 (1,0)
|
9.8 (0,6)
|
9,6 (0,2)
|
10,5 (0,7)
|
NS
|
NS
|
T3 (ng/ml)
|
6,2 (0,8)
|
4,6 (0,3)
|
3,6 (0,2)
|
4,0 (0,3)
|
***
|
*
|
Lebih lanjut mengenai pengaruh
glukosinolat, pengujian pada turbot dengan tepung biji rape dengan kandungan glukosinolat
rendah dan tinggi (26 dan 40 mol glukosinolat/g DM) memberikan dampak negatif
terhadap final body weight dan specific growth rate pada semua
perlakuan dibandingkan kontrol. Perlakuan menggunakan tepung biji rape dengan
kandungan glukosinolat rendah terbukti menurunkan kadar plasma T4 dan
meningkatkan kadar plasma T3, hal ini membuktikan bahwa kandungan glukosinolat
mempengaruhi konversi plasma T4 ke T3 (Burel et al. 2000).
Kesimpulan
Pada kasus subtitusi tepung ikan dengan
sumber protein nabati, hubungan antara kadar hormon plasma tiroid dengan
tingkat pertumbuhan masih sulit dijelaskan, disebabkan keberadaan faktor
anti-nutrisi yang memiliki mekanisme kerja berbeda dalam mempengaruhi produksi
hormon plasma tiroid.