Friday, 30 January 2015

Migrasi Ikan Kembung



Ikan kembung merupakan ikan pelagis yang mengadakan migrasi. Ikan kembung lelaki cenderung memilih keadaan faktor lingkungan yang relatif sama dengan ikan layang (Decapterus spp.). Di Laut Jawa dua spesies ikan ini mempunyai pola migrasi yang hampir sama, yaitu pada permulaan musim Timur arus yang bersalinitas tinggi bergerak ke arah Barat di Laut Jawa dan ikan kembung lelaki juga bergerak ke arah Barat yang kemungkinan terus bergerak ke Selat Karimata. Pada musim Barat terjadi pergerakan ikan kembung yang sebaliknya sesuai dengan arus laut. Selanjutnya dia menambahkan bahwa migrasi ikan kembung mengikuti pola yang sama dengan migrasi ikan layang, biasanya satu atau dua minggu kemudian (Hardenberg 1955).

Migrasi ikan disebabkan oleh tiga hal yaitu : mencari daerah yang banyak makanannya, mencari daerah tempat memijah (spawning ground) dan adanya perubahan beberapa faktor lingkungan seperti temperatur, salinitas dan suhu (Nikolsky 1963). Chisastit (1962) menduga bahwa migrasi ikan kembung perempuan dijumpai pada musim pemijahan. Ikan kembung yang mature mungkin sekali pergi ke daerah pemijahan dari daerah pantai, dan ikan juvenil akan ke pantai untuk mencari makan.

Thursday, 15 January 2015

Penyebaran/Distribusi Ikan Kembung (Rastrelliger sp.)



Ikan kembung (Rastrelliger sp.) merupakan jenis ikan diurnal (ikan siang hari) yang banyak terdapat pada lapisan pelagis, yaitu lapisan yang paling banyak cahaya matahari. Ikan-ikan pelagis umumnya muncul ke permukaan sebelum matahari terbenam dan biasanya mereka membentuk kelompok.

Ikan kembung yang tergolong dalam kelompok mackerel ini penyebarannya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: penyebaran secara vertikal dan horizontal. Penentuan batas penyebaran secara vertikal penting sekali diketahui supaya kedalaman alat tangkap dapat disesuaikan dengan kedalaman renang ikan tersebut. Penyebaran ikan secara horizontal perlu diketahui untuk penentuan daerah penangkapan ikan (Laevastu dan Hayes 1981).

Penyebaran ikan kembung (Rastrelliger sp.) berdasarkan ruang (tempat) atau berdasarkan waktu berhubungan dengan erat dengan pencarian makanan dan pemijahan. Zooplankton merupakan salah satu makanan utama ikan kembung, sehingga penyebaran ikan kembung diduga mengikuti pergerakan horizontal plankton tersebut (M’Boy 2014). Arah arus dapat menjadi penghalang bagi penyebaran jenis ikan, tetapi untuk jenis ikan lainnya arah arus menjadi bantuan bagi penyebarannya. Ikan-ikan perenang bebas seperti ikan kembung, terbang, tenggiri dan lain-lain dapat bergerak melawan arus, sehingga arus tidak menjadi penghalang melainkan membantu penyebarannya (Hardenberg 1955).

Kedalaman kelompok ikan-ikan pelagis banyak ditentukan oleh susunan suhu secara vertikal. Dengan pengertian bahwa ikan pelagis akan berenang sedikit ke sebelah dalam pada saat suhu permukaan lebih tinggi dari biasanya. Ikan kembung merupakan ikan pelagis, epipelagis dan neritik serta menyukai daerah dengan suhu minimum 17oC dan suhu optimum 20oC – 30oC (Wyrtki 1961).

Distribusi ikan kembung lelaki secara geografis sangat luas, kecuali bagian selatan perairan pantai Australia, bagian barat Laut Merah dan bagian timur Jepang. Ikan kembung lelaki daerah penyebarannya hampir terdapat di seluruh perairan Indonesia dengan konsentrasi terbesar di Kalimantan Timur (Tanjung Satai), Kalimantan Selatan (Pegatan), Laut Jawa, Selat Malaka, Sulawesi Selatan dan Arafuru (DJP 1979). Ikan kembung lelaki merupakan ikan pelagis yang sering ditemukan dalam bentuk kelompok besar di permukaan. Makanannya adalah mikroorganisme plankton, terutama crustacea (Fischer dan Whitehead 1974).

Ikan kembung perempuan penyebarannya meliputi Laut Andaman (Indonesia), Thailand, Philipina, dan bagian Utara Kepulauan Fiji (Fischer dan Whitehead 1974). Di Indonesia sendiri penyebarannya meliputi perairan pantai dengan konsentrasi terbesar di Kalimantan, Sumatera Barat, Laut Jawa, Selat Malaka, Sulawesi Tenggara (Muna-Buton) dan Arafuru (DJP 1979). Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) hidup berkelompok dalam jumlah yang besar pada perairan pantai dengan kedalaman antara 10 - 50 m (Fischer dan Whitehead 1974).

Thursday, 8 January 2015

Habitat, Distribusi dan Tingkah Laku Bulu Babi

Bulu babi hidup pada ekosistem terumbu karang dan ekosistem lamun. Di ekosistem terumbu karang bulu babi tersebar di zona pertumbuhan algae dan zona lamun. Bulu babi dapat ditemukan mulai dari daerah intertidal sampai kedalaman 10 m (Aziz 1993), bahkan ditemukan juga bulu babi hingga kedalaman 5000 m (Suwignyo et al. 2005). Bulu babi juga lebih menyukai perairan yang jernih dan airnya relatif tenang (Radjab 2004).

Bulu babi sebagai salah satu biota penghuni padang lamun, kerap kali ditemukan di daerah padang lamun campuran. Kondisi ini terutama disebabkan karena bulu babi tergantung kepada berbagai jenis lamun dari marga Thalassia, Syringodium, Thalassodendron, dan Cymodocea. Selain itu bulu babi juga lebih menyukai substrat yang agak keras, dimana substrat padang lamun campuran terutama terdiri dari campuran pasir dan pecahan karang (M’Boy 2014). Bulu babi marga Tripneustes, Lytechinus dan Temnopleurus lebih sering dijumpai di padang lamun dibandingkan dengan di daerah terumbu karang dan hidup mengelompok seperti Diadema setosum, D. antilarrum, Tripneustes gratilla, T. ventricosus, Lytechinus variegatus, Temnopleurus toreumaticus dan Strongilocentrotus spp. maupun yang cenderung hidup menyendiri seperti Mespilia globulus, Toxopneustes pileolus, Pseudoboletia maculata dan Echinotrix diadema (Aziz 1994).

Penyebaran lokal bulu babi sangat tergantung pada faktor habitat dan makanan (de Beer 1990). Pada umumnya masing-masing jenis memiliki habitat yang spesifik, seperti Tripneustes gratilla sering ditemukan di daerah berpasir atau pasir lumpur yang banyak ditumbuhi lamun dengan kedalaman antara 0.5 m sampai dengan 20 m (Radjab 2004). Mellita quinquisperforata merupakan salah satu komponen penting di komunitas pantai berpasir (Tavares & Borzone 2006). Hingga kini, tercatat kurang lebih 151 jenis fauna Echinoidea yang terdiri dari 93 genus dan 34 famili dijumpai di perairan Laut Banda dan sekitarnya. Fauna Echinoidea yang dijumpai di wilayah ini tersebar mulai dari perairan dangkal hingga kedalaman 2250 m (Aziz 1999).

Kelompok bulu babi regularia baik yang menyendiri ataupun mengelompok, hidup bebas mencari makan secara aktif, berpindah dari satu rumpun ke rumpun algae lainnya. Aktifitas makan ini umumnya dilakukan pada malam hari. Sementara itu, kelompok bulu babi iregularia baik sand dollar, heart urchin ataupun sea biscuit hidup dengan memakan bahan-bahan organik yang terkandung dalam lumpur (deposit feeders). Hewan ini hidup membenamkan diri dalam lumpur atau pasir halus dan secara pasif mengumpulkan jasad-jasad renik dan bahan organik yang tertangkap oleh duri-durinya utamanya pada sisi aboral, atau memperoleh makanan dengan cara menelan pasir yang ada pada medium di sekitarnya (Aziz 1987). Jenis bulu babi yang hidup secara berkelompok umumnya ditemukan pada marga Diadema dan Strongylocentrotus.

Friday, 2 January 2015

Protein Nabati Sebagai Subtitusi Tepung Ikan dan Status Tiroid pada Ikan



Subtitusi tepung ikan dengan bahan tanaman kaya protein dalam pakan ikan telah banyak menjadi objek penelitian nutrisi (Burel et al. 1998) karena meningkatnya biaya dan ketersediaan tepung ikan yang tidak menentu (Pereira et al. 2002). Bagaimanapun, tepung ikan dan sumber protein nabati berbeda dalam beberapa hal terutama tingkat protein, profil asam amino, kadar energi, dan kandungan mineral. Selain itu, protein nabati juga mengandung komposisi serat yang tinggi dan satu atau lebih faktor anti nutrisi (ANFs) yang mungkin memiliki dampak merugikan terhadap nilai nutrisi dan palatabilitas (M’Boy 2013).

Tepung kedelai dan polong-polongan merupakan produk tanaman yang umum digunakan sebagai subtitusi tepung ikan. Namun, sejumlah penelitian membuktikan selain tepung kedelai dan polong-polongan terdapat berbagi produk tanaman yang potensial digunakan sebagai subtitusi tepung ikan, antara lain biji lupin (lupin seed) (Burel et al. 1998; 2000), tepung gluten jagung (corn gluten meal) (Regost et al. 1999), minyak/tepung biji rapa (canola/rapeseed meal) (Burel et al. 2000), tepung daun leucaena (leucaena leaf meal), tepung biji kapas (cottonseed meal), tepung wijen (sesame meal), minyak/tepung moster (mustrad oil/meal) (Francis et al. 2001), tepung kubis (cabbage meal) (Pereira et al. 2002), tepung daun alfalfa (alfalfa leaf meal) (Chatzifotiz et al. 2006), tepung bunga matahari (sunflower meal) (Merida et al. 2010) dan lain sebagainya.

Hormon memainkan peranan penting dalam mengatur pertumbuhan dan pemanfaatan nutrisi pada ikan. Konsekuensinya, sistem endokrin ikan sangat sensitif terhadap perubahan masukan nutrisi yang diterima. Nutrisi mungkin mempengaruhi fungsi endokrin dalam tindakan atas sintesis, sekresi, konversi dan penerimaan hormon (Gambar 1) (MacKenzie et al. 1998). Meski demikian kenyataannya fungsi endokrin jarang dievaluasi dalam penelitian nutrisi ikan.





Gambar 1. Kelenjar endokrin utama pada ikan secara langsung dipengaruhi oleh masukan nutrisi organik (MacKenzie et al. 1998)

Pada ikan, hormon tiroid telah dipelajari paling ekstensif dibandingkan hormon lainnya.  Sejumlah penelitian menunjukkan hubungan antara pemanfaatan nutrisi dan fungsi tiroid. MacKenzie et al. (1998) menyebutkan komposisi protein, karbohidrat dan lemak pada pakan yang diberikan pada ikan mempengaruhi produksi hormon tiroid. Hormon tiroid berperan dalam mengatur pertumbuhan ikan dan pemanfaatan energi melalui metabolisme lemak dan karbohidrat, memobilisasi lemak, metabolisme nitrogen dan memacu hormon pertumbuhan (Leatherland 1994). Oleh karenanya status tiroid baik digunakan sebagai indikator pertumbuhan ikan (Burel et al. 1998).

Pada vertebrata, tiroksin (T4) adalah produk sekretori utama folikel tiroid meskipun 3,5,3-triiodotironine (T3) adalah hormon biologis aktif. Aktivitas iodotironine deiodinase memainkan peran penting dalam pengaturan konsentrasi hormon tiroid peripheral (Burel et al. 1998). Penelitian terbaru menunjukkan bahwa aktivitas deiodinase serupa pada mamalia juga ditemukan dalam lima jenis teleost, termasuk rainbow trout (Mol et al. 1998).

Diet rendah protein pada rainbow trout diketahui mengurangi kadar plasma T4, mengurangi konversi T4 ke T3, dan menurunkan tingkat pertumbuhan. Formasi T3 yang lebih besar ditemukan pada hewan yang mengkonsumsi diet dengan kadar protein tinggi. Hal ini menunjukkan protein merupakan faktor penting yang mempengaruhi produksi hormon tiroid seluler-aktif pada ikan (Mackenzie et al. 1998) dan secara umum kadar plasma T3 berhubungan dengan performa pertumbuhan (Mackenzie et al. 1993). Lebih lanjut, penelitian Eales et al. (1993) pada salmon menemukan bahwa karbohidrat lebih berperan sebagai pengatur sekresi T4, dan protein berfungsi sebagai sinyal untuk mengaktifkan pembentukan T3.

Faktor Anti Nutrisi (ANFs)
Sebagian besar tanaman yang memiliki potensi sebagai alternatif subtitusi tepung ikan diketahui mengandung berbagai zat anti nutrisi (Tabel 1)  yang dapat mengganggu pencernaan, pemanfaatan protein dan mineral, anti-vitamin sehingga mempengaruhi kesehatan hewan (Makkar 1993).

Tabel 1. Anti nutrisi penting yang terkandung dalam tanaman yang umumnya digunakan sebagai alternatif subtitusi tepung ikan (Francis et al. 2001)

Sumber nutrisi
Antinutrisi yang terkandung
Tepung kedelai
Protease inhibitors, lectins, phytic acid, saponins, phytoestrogens, anti-vitamins, allergens
Tepung biji rape
Protease inhibitors, glucosinolates, phytic acid, tannins
Tepung biji lupin
Protease inhibitors, saponins, phytoestrogens, alkaloids
Tepung kacang polong
Protease inhibitors, lectins, tannins, cyanogens, phytic acid, saponins, anti-vitamins
Minyak bunga matahari
Protease inhibitors, saponins, arginase inhibitor
Tepung biji kapas
Phytic acid, phytoestrogens, gossypol, anti-vitamins, cyclopropenoic acid
Tepung daun leucaena
Mimosine
Tepung daun alfalfa
Protease inhibitors, saponins, phytoestrogens, anti-vitamins
Minyak moster
Glucosinolates, tannins
Tepung wijen
Phytic acid, protease inhibitors

Brassica (biji rapa dan kubis) diketahui mengandung glukosinolat (GLS) dimana, setelah dihidrolisis oleh enzim miosinase dapat menghasilkan isothiosianat, anion tiosianat, dan vinyloxazolidinethiones. Metabolit GLS memiliki aktivitas goitrogenik di binatang termasuk ikan, yaitu blok organifikasi dalam folikel tiroid, sehingga menghambat produksi T4 dan T3. Hasilnya adalah peningkatan sekresi thyroid stimulating hormone karena kadar plasma T4 dan T3 yang rendah (Burel et al 2000).

Selain GLS pada biji rapa juga terdapat beberapa komponen kecil yang mungkin memiliki efek anti nutrisi (Bell 1993). Tannin dalam tepung biji rape tampaknya tidak memiliki efek negatif yang sama pada palatabilitas dan kecernaan protein sebagaimana efek negatif yang ditimbulkan tannin yang terkandung pada tanaman lain (Enami 2011). Sinapin mungkin memiliki rasa pahit yang memberikan dampak terhadap palatabilitas, namun rasa pahit pada tingkat yang ditemukan di tepung biji rape tidak mempengaruhi konsumsi pakan atau tingkat pertumbuhan (Qiao dan Classen 2003).

Sementara, pada lupin anti nutrisi yang utama berupa alkaloid, komponen yang memberikan dampak merugikan terhadap palatabilitas. Dalam perkembangannya, pemulia tanaman telah mengembangkan strain lupin putih (Lupinus albus) dengan kandungan alkaloid yang rendah (Burel 2000) sehingga dampak terhadap palatabilitas dapat dikurangi.

Pertumbuhan dan Status Tiroid
Komposisi ekstrak lupin sampai 50% pada diet rainbow trout dan turbot memberikan performa pertumbuhan yang tidak jauh berbeda dengan kontrol, namun 70% penggantian tepung ikan dengan ekstrak lupin menyebabkan performa pertumbuhan yang rendah secara nyata (Burel et al. 1998; 2000). Inkorporasi ekstrak lupin pada diet rainbow trout menyebabkan dikonversinya plasma T4 menjadi T3, tetapi pengaruh ini belum seluruhnya dapat dijelaskan sebab tidak selalu berulang pada eksperimen-eksperimen berikutnya (Gambar 2) (Burel et al. 1998). Pada turbot mekanisme naiknya plasma T3 tidak dapat dijelaskan dengan turunnya plasma T4 karena proses konversi, diet ekstrak lupin menyebabkan naiknya plasma T4 dan T3 (Burel et al. 2000). Namun secara umum kadar plasma T3 berhubungan dengan performa pertumbuhan pada diet pakan berbasis ekstrak lupin (Gambar 3) (Burel et al. 1998).

Gambar 2. Konsentrasi plasma T3 dan T4 rainbow trout diukur di akhir periode pemberian pakan untuk masing-masing perlakuan diet pada percobaan 1, 2, dan 3. Data pengambilan sampel diurnal dan nocturnal pada percobaan satu digabung. Rerata dengan standar deviasi (n=30 pada percobaan 1, dan n=15 pada percobaan 2 dan 3)



Gambar 3. (A) Regresi linier antara komposisi lupin (%) pada pakan dengan kadar plasma T4 (ng/ml) rainbow trout yang diukur diakhir periode pemberian pakan pada percobaan 1. (B) Korelasi antara index pertumbuhan harian (DGI, %/hari) diukur selama 3 minggu terakhir dan kadar plasma T3 (ng/ml) rainbow trout yang diukur di akhir periode pemberian pakan pada percobaan 1.

Secara linier besarnya komposisi tepung kubis dalam diet juvenil rainbow trout memberikan dampak negatif terhadap berat badan akhir dan laju pertumbuhan spesifik. Selain itu diet yang mengandung tepung kubis berhubungan dengan kadar plasma T3 yang secara signifikan lebih rendah daripada diet yang hanya mengandung tepung ikan karena adanya faktor anti-nutrisi (glukosinolat/GLS), meskipun tidak memberikan dampak signifikan terhadap kadar plasma T4. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor anti-nutrisi mempengaruhi konversi enzimatik plasma T4 ke T3. Dengan demikian, dimasukkannya tepung kubis dalam diet pakan rainbow trout dapat diterima sampai tingkat tertentu (Pereira et al. 2002).

Tabel 2. Specific growth rate (SGR) dan konsentrasi plasma T3 dan T4 rainbow trout diukur diakhir periode pemberian pakan pada masing-masing perlakuan diet

Diet
Kontras Linier
Kontras Kuadrat
Tepung Ikan
Tepung Kubis
(g/kg)
160
250
320
SGR
2,7 (0,1)
2,5 (0,1)
2,5 (0,1)
2,2 (0,1)
***
NS
T4 (ng/ml)
9,1 (1,0)
9.8 (0,6)
9,6 (0,2)
10,5 (0,7)
NS
NS
T3 (ng/ml)
6,2 (0,8)
4,6 (0,3)
3,6 (0,2)
4,0 (0,3)
***
*

Lebih lanjut mengenai pengaruh glukosinolat, pengujian pada turbot dengan tepung biji rape dengan kandungan glukosinolat rendah dan tinggi (26 dan 40 mol glukosinolat/g DM) memberikan dampak negatif terhadap final body weight dan specific growth rate pada semua perlakuan dibandingkan kontrol. Perlakuan menggunakan tepung biji rape dengan kandungan glukosinolat rendah terbukti menurunkan kadar plasma T4 dan meningkatkan kadar plasma T3, hal ini membuktikan bahwa kandungan glukosinolat mempengaruhi konversi plasma T4 ke T3 (Burel et al. 2000).

Kesimpulan
Pada kasus subtitusi tepung ikan dengan sumber protein nabati, hubungan antara kadar hormon plasma tiroid dengan tingkat pertumbuhan masih sulit dijelaskan, disebabkan keberadaan faktor anti-nutrisi yang memiliki mekanisme kerja berbeda dalam mempengaruhi produksi hormon plasma tiroid.