Tuesday, 22 December 2015

Teripang (Biologi, Morfologi, Penyebaran, Reproduksi)



Teripang merupakan salah satu anggota hewan filum Echinodermata. Duri teripang merupakan butir-butir kapur mikroskopis yang terbenam dalam jaringan dinding tubuh (Hyman 1955; Lawrence 1987). Teripang memiliki tubuh lunak, berdaging dan bentuknya silindris/bulat panjang (elongated cylindrical) di sepanjang sumbu oral-aboral, yaitu sumbu yang menghubungkan bagian anterior dan posterior, sehingga terlihat seperti buah mentimun atau ulat (Wilmoth 1967; Pechenik 2000). Gerakannya sangat lamban sehingga hampir seluruh hidupnya berada di dasar laut (Martoyo et al. 2000).

Teripang umumnya memiliki tubuh lunak dan kasar karena adanya spikula pada dinding tubuh (Hyman 1955). Permukaan tubuh tidak bersilia dan diselimuti oleh lapisan kapur yang tebal tipisnya tergantung umur. Di sepanjang mulut ke anus terdapat lima deretan kaki tabung, terdiri dari tiga deretan kaki tabung dengan penghisap pada bagian perut (trivium) yang berperan dalam respirasi (Lawrence 1987). Di bawah lapisan kulit terdapat satu lapis otot melingkar dan lima lapis otot memanjang. Sesudah lapisan otot terdapat rongga tubuh yang berisi organ-organ tubuh seperti gonad dan usus (Storer et al. 1979).

Secara umum di dalam selaput dinding tubuh teripang terdapat selaput otot melingkar, lima pasang otot longitudinal, saluran pencernaan yang panjang dan melingkar, kerongkongan yang pendek, lambung terlihat membesar, usus halus panjang dan bermuara ke dalam kloaka dengan dinding bersifat muskular, kemudian kloaka bermuara keluar melalui anus yang terletak pada ujung yang lain (Pangabean 1987)

Warna teripang bervariasi tergantung jenisnya, mulai dari berwarna putih, hitam, coklat kehijauan, abu-abu, dan bahkan ada beberapa jenis yang mempunyai warna terang seperti merah muda, orange, ungu dan kadang-kadang bergaris-garis atau belang-belang (Ruppert dan Barnes 1994; Wibowo et al. 1997). Perbedaan warna ini terkadang digunakan dalam membedakan jenis teripang (Barnes 1987). Teripang pasir (Holothuria scabra), mempunyai punggung berwarna abu-abu atau kehitaman dengan bintik-bintik putih atau kuning.

Ukuran tubuh teripang bervariasi untuk setiap jenisnya. Misalnya, jenis Holothuria atra dapat mencapai panjang 60 cm dan berat 2 kg, jenis teripang pasir atau teripang putih (Holothuria scabra) panjangnya 25 – 35 cm dengan berat antara 0.25 – 0.35 kg (M’Boy 2014).

Teripang memiliki beberapa nama berbeda di beberapa negara misalnya di Malaysia disebut gamat, ketimun laut, suala, di Inggris sea cucumber, orang Perancis menyebutnya beche de-mer. Namun dari keseluruh nama tersebut, dalam pasaran internasional, teripang lebih populer dengan nama teat fish (M’Boy 2014).

Sistem pencernaan teripang berbentuk tabung memanjang terdiri dari tentakel, mulut, kerongkongan, tenggorokan, perut besar, usus halus, kloaka dan anus. Mulut dan anus teripang terletak pada ujung poros yang berlawanan, yaitu anus berada pada bagian anterior dan anus berada pada bagian posterior. Mulut teripang dikelilingi oleh 10 – 30 tentakel yang dapat dijulurkan dan ditarik kembali dengan cepat. Tentakel-tentakel ini merupakan modifikasi dari kaki tabung yang berfungsi untuk menangkap makanan (Storer et al. 1979; Lawrence 1987). Teripang memiliki dua cara makan yaitu dengan menangkap plankton dengan tentakelnya dan dengan menelan pasir. Teripang merupakan komponen penting dalam rantai makanan (food chain) di terumbu karang dan ekosistem asosiasinya pada berbagai tingkat struktur pakan (trophic levels). Teripang berperan penting sebagai pemakan deposit (deposit feeder) dan pemakan suspensi (suspensi feeder) (Darsono 2005).

Pada umumnya makanan teripang terdiri atas partikel-partikel organik yang banyak terdapat pada pasir dan lumpur. Makanan teripang terdiri atas detritus, rumput laut dan organisme-organisme kecil seperti diatom, protozoa, nematoda, alga, filamen, copepoda, ostracoda. Selain itu, ditemukan pula foraminifera, radiolarian, partikel-partikel pasir atau hancuran batu karang dan cangkang-cangkang hewan (M’Boy 2014).

Sistem sirkulasi teripang dapat menghasilkan tenaga dan gerak berbentuk haemal ring yang mengelilingi kerongkongan dan membagi 5 radial jaringan darah yang menyebar ke lima saluran dan terletak di bawah lapisan otot dan memiliki darah transparan atau coklat. Sirkulasi air terjadi di bagian atas haemal ring dan di sekitar kerongkongan yang terbagi 5 cabang radial tertutup ke bagian lingkaran kanal serta saling berhubungan dengan pollan vesicle dan stone canal (Wibowo et al. 1997).

Morgan (2001) menunjukkan bahwa perkembangan Holothuria muda dan dewasa sangat bergantung pada jenis fitoplankton yang mereka makan. Teripang adalah hewan detritus yaitu makan secara menyapu pasir ke dalam mulut. Pergerakan teripang yang lambat menyebabkannya perlu mempunyai mekanisme pertahanan tubuh yang efisien, yaitu mengeluarkan holothurin yang toksik dan dapat melumpuhkan hewan kecil. Holothurin dikeluarkan oleh kelenjar khusus yang disebut sebagai Cuvier (Michael 2003).

Teripang termasuk hewan dioecious (gonokoristik). Artinya hewan yang berkelamin jantan terpisah dengan yang berkelamin betina. Untuk membedakan jenis kelamin pada teripang secara morfologis sangat sulit dan harus dilakukan pembedahan gonad untuk diambil organ kelaminnya. Perbedaannya akan tampak jelas bila dilihat di bawah mikroskop dengan menyayat bagian organ kelamin (Darsono 1999). Organ kelamin betina berwarna kekuning-kuningan dan berubah menjadi kecoklatan bila sudah matang kelamin. Sedangkan organ kelamin jantan berwarna bening keputihan. Perkawinannya berlangsung secara eksternal. Sel telur dan sperma masing-masing dihasilkan oleh individu jantan dan betina dengan cara disemprotkan.

Wednesday, 8 April 2015

Sekilas Tentang Reproduksi dan Daur Hidup Spons

Spons bereproduksi secara aseksual dan seksual. Secara aseksual, spons bereproduksi melalui proses fragmentasi atau dengan menghasilkan gemmules atau budding. Secara seksual, spons bereproduksi dengan menghasilkan sel telur dan sel sperma. Sebagian besar spesies spons bersifat hermafrodit dimana satu individu menghasilkan 2 jenis gamet (sel telur dan sel sperma) sekaligus.

Proses pembuahan dan perkembangan awal embrio biasanya terjadi secara internal. Sebagian besar spons menahan embrionya yang sedang berkembang secara internal selama beberapa waktu, kemudian melepaskannya keluar melalui oscula sebagai larva yang berenang. Sedangkan sebagian kecil spons bersifat oviparous dimana sel telur yang baru dibuahi dilepaskan ke kolom air laut dan embrio akan berkembang secara eksternal.

Larva spons biasanya tidak mampu untuk mencari makan dan berenang selama kurang dari 24 jam sebelum mengalami metamorfosis. Sebelum kehilangan kemampuannya untuk berenang, larva menempel pada suatu substrat. Selama proses metamorfosis lanjutan, sel-sel dari berbagai bagian embrio mengalami perpindahan dan perubahan menjadi spons dewasa secara besar-besaran (Pechenik 2005).

Friday, 27 February 2015

Sekilas Tentang Biologi Spons



Spons diklasifikasikan ke dalam kingdom Animalia atau hewan, sub-kingdom Metazoa, dan filum Porifera. Spons dimasukkan ke dalam filum Porifera dikarenakan seluruh tubuhnya yang berpori dimana dalam bahasa Latin “Porifera” berarti memiliki pori (Pechenik 2005). Spons memiliki 3 pembagian dasar struktur tubuh, yaitu asconoid, syconoid dan leuconoid. Sebagian besar spesies spons memiliki struktur tubuh leuconoid (M’Boy 2014). Berdasarkan komposisi kimia dan morfologinya filum Porifera terbagi atas tiga kelas, yaitu: Calcarea, Demospongiae, dan Hexactinellida. Namun saat ini telah diketahui kelas ke-4 dari filum ini, yaitu: Sclerospongia terdiri atas 16 spesies yang memiliki struktur leuconoid dan hanya terdapat di bagian gua-gua dan celah-celah terumbu karang yang gelap (Pechenik 2005).

Spons pada umumnya berwarna putih atau abu-abu, dan ada pula yang berwarna kuning, jingga, merah, atau hijau. Spons yang berwarna hijau biasanya disebabkan oleh adanya alga simbiotik yang disebut sebagai zoochlorellae yang terdapat di dalamnya (Romimohtarto & Juwana 1999). Warna spons tersebut sebagian dipengaruhi oleh fotosintesis mikrosimbionnya. Mikrosimbion spons pada umumnya adalah cyanophyta (sianobakteria dan eukariot alga seperti dinoflagellata atau zooxanthellae). Beberapa spons memiliki warna yang berbeda walaupun termasuk dalam jenis yang sama. Beberapa spons juga memiliki warna dalam tubuh yang berbeda dengan pigmentasi luar tubuhnya. Spons yang hidup di lingkungan yang gelap akan berbeda warnanya dengan spons sejenis yang hidup pada lingkungan yang cerah (Wilkinson 1980).

Spons termasuk hewan filter feeder yang menyaring air yang memasuki tubuhnya melalui pori-pori kecil yang disebut sebagai ostia sebagai tempat masuknya air laut untuk bersirkulasi melalui sejumlah saluran atau kanal dimana partikel-partikel plankton dan organik akan dimakan dan disaring keluar kembali. Pori-pori tersebut dan sistem kanal tersebut berfungsi untuk menyaring air setiap 5 detik (M’Boy 2014). Kanal-kanal tersebut adalah choanocytes yang merupakan lapisan sel yang terdapat pada bagian dalam mesohyl, sejajar dengan spongocoel. Sel ini memiliki struktur yang menyerupai protozoa choanoflagelata. Choanocyte berbentuk bulat, dengan satu ujungnya terhubung ke mesohyl. Partikel-partikel plankton dan organik tersebut di pompa masuk menuju ruang makan yang lebih besar yang disebut sebagai spongocoel. Sel choanocyte berperan dalam pergerakan air dalam tubuh spons dan untuk menyediakan makanan (Rupert & Barnes 1994). Pada bagian atas tubuhnya terdapat kanal yang berfungsi sebagai tempat keluarnya air yang disebut osculum dengan jumlah yang lebih sedikit daripada ostia.

Proses interaksi antara spons dan mikroba simbionnya belum sepenuhnya diketahui. Beberapa teori mengemukakan bahwa proses rekruitmen mikroba simbion dilakukan spons pada saat proses filter feeder. Dikatakan bahwa spons mengandung komunitas mikroba yang beragam dan kompleks, yang secara genetik berbeda dengan mikroba yang ditemukan di plankton dan sedimen laut (Fieseler et al. 2004). Spons juga bersimbiosis dengan beberapa mikroorganisme, seperti bakteri. Menurut Friedrich et al. (2001), diperkirakan sekitar 40% biomassa beberapa spons disusun oleh komunitas bakteri. Bakteri-bakteri tersebut merupakan simbion dalam tubuh spons. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa simbion-simbion tersebut memiliki peranan dalam produksi senyawa bioaktif yang berfungsi dalam adaptasi ekologi spons (Proksch et al. 2003; Thakur & Müller 2004; Ismet 2007).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa selain mikroba episimbion yang melekat pada bagian permukaan spons selama masa pertumbuhan, beberapa bakteri dan fungi diturunkan secara genetis dalam tubuh spons (Ismet 2007). Telah diketahui bahwa mikroba simbion spons memiliki peran menjaga kestabilan pertumbuhan dan kesehatan spons. Simbion-simbion tersebut memiliki peran penting dalam penyediaan energi dan nutrisi (Ismet 2007), beberapa spons hidup secara simbiosis dengan sianobakteria, yang berfungsi sebagai penyuplai nutrien melalui proses fotosintesis (Sjögren 2006), menghambat mikroba patogen, serta sebagai pelindung terhadap radiasi sinar UV dan penghasil enzim antioksidan (Ismet 2007).

Peran Ekologis Lamun



Kehadiran padang lamun di perairan dangkal sangat penting karena perannya sebagai produsen primer, pendaur ulang zat hara, tempat memiijah dan mencari makan berbagai biota bentik dan ikan, stabilisator dasar, penangkap sedimen dan penahan erosi (Kikuchi & Peres 1977). Sebagai produsen primer, lamun memfiksasi sejumlah karbon organik dan sebagian memasuki rantai makanan di laut. Kandungan bahan organik di lamun yang tinggi berasal dari serasah daun lamun. Sebagai habitat biota, lamun memberikan perlindungan bagi beberapa jenis biota baik yang menempel di daun, berada di atas akar dan rhizoma, maupun pada sedimen dasar sehingga terlindung dari predator (Fortes 1990). Sebagai sumber makanan, biota yang menghuni padang lamun dapat memakan tumbuhan lamun secara langsung (direct grazing) maupun melalui jalur detritus (Wood et al. 1969; Philips & Menez 1988). McRoy & Helfferich (1980) melaporkan bahwa salah satu avertebrata yang memakan daun lamun secara langsung adalah bulu babi, sedangkan dari kelompok vertebrata yaitu beberapa ikan (Scaridae, Acanthuridae), penyu dan duyung, sedangkan bebek dan angsa memakan lamun ketika lamun tersebut muncul pada surut terendah.

Dalam kaitannya dengan peran lamun sebagai habitat, Kikuchi (1980) menyebutkan bahwa terdapat lima hal pokok dari ekosistem lamun dalam kaitannya sebagai penyusun suatu habitat yaitu: 1) lamun membentuk vegetasi lebat di bawah permukaan air dan menyediakan lapisan dasar yang ada bagi organisme penggali dan epifit, 2) vegetasi yang lebat tersebut menenangkan gerakan air yang ditimbulkan oleh arus dan gelombang, 3) dengan keadaan hidrodinamik yang tenang, mineral dan partikel organik dalam air dengan mudah dapat mengendap di dasar perairan, dimana endapan dari serasah lamun yang membusuk dan partikel organik lainnya membentuk suatu lingkungan yang sesuai bagi kehidupan mikroorganisme dan hewan bentik lainnya, 4) daun-daun lamun mereduksi cahaya yang berlebihan sehingga menjadi teduh dan melindungi organisme yang ada di bawahnya, 5) berdasarkan penyebab di atas, maka padang lamun merupakan habitat yang baik bagi juvenil dan nekton bahari berukuran kecil untuk mendapatkan tempat berlindung dan mencari makanan.

Selanjutnya, Howard et al. (1989) membagi empat grup besar fauna yang menghuni padang lamun, yaitu: 1) infauna, merupakan hewan yang hidup di dalam sedimen di antara rhizoma, 2) epifauna motil, merupakan hewan yang berukuran kecil dan bergerak berasosiasi dengan permukaan sedimen, hancuran lamun dan di helaian daun, 3) epifauna sessil, merupakan hewan yang hidup secara permanen melekat di helaian lamun, 4) fauna epibentik, merupakan hewan yang berukuran lebih besar, mampu bergerak bebas dan lebih berasosiasi dengan padang lamun daripada lamun secara individual.

Wednesday, 11 February 2015

Sekilas Tentang Morfologi Rajungan (Portunus pelagicus)



Secara umum morfologi rajungan (Portunus pelagicus) berbeda dengan kepiting bakau.  Rajungan memiliki bentuk tubuh yang lebih ramping dengan capit yang lebih panjang dan memiliki berbagai warna yang menarik pada karapasnya. Duri akhir pada kedua sisi karapasnya relatif lebih panjang dan lebih runcing. Rajungan hanya hidup pada lingkungan air laut dan tidak dapat hidup pada kondisi tanpa air. Cukup dengan melihat warna dari karapas dan jumlah duri pada karapasnya, maka dengan mudah dapat dibedakan dengan kepiting bakau (Kasry 1996).

Dari beberapa jenis crustacea yang dapat berenang (swimming crab), sebagian besar merupakan jenis rajungan. Sebagai contoh yang banyak terdapat di Teluk Jakarta ada 7 jenis rajungan yaitu Portunus pelagicus, Portunus sanguinolentus, Thalamita crenata, Thalamita danae, Charybdis cruciata, Charibdis natator, Podophthalmus vigil. Namun menurut informasi menyebutkan bahwa ada 11 jenis rajungan yakni Portunus pelagicus Linn, Portunus sanguinolentus Herbst, Portunus sanguinus, Portunus trituberculatus, Portunus gladiator, Portunus hastafoides, Thalatmita crenata Latr., Thalatmita danae Stimpson, Charybdis cruciata, Charibdis natator Herbst, Podophthalmus vigil Fabr. (Nakamura 1990; Soim 1996; Supriyatna 1999), Portunus trituberculatus banyak ditemukan di Jepang, Cina, Taiwan, dan Korea. Menurut Soim (1996) nilai gizi dari bagian tubuh jenis rajungan yang dapat dimakan (edible portion) mengandung protein 65.72%, mineral 7.5% dan lemak 0.88%.

Induk rajungan mempunyai capit yang lebih panjang dari kepiting bakau, dan karapasnya memiliki duri sebanyak 9 buah yang terdapat pada sebelah kanan kin mata. Bobot rajungan dapat mencapai 400 g dengan ukuran karapas sekitar 300 mm (12 inci). Ukuran rajungan antara yang jantan dan betina berbeda pada umur yang sama. Ukuran jantan lebih besar dan berwarna lebih cerah serta berpigmen biru terang, sedang yang betina berwarna sedikit lebih coklat (Cowan 1981). Rajungan (Portunus pelagicus) memiliki karapas berbentuk bulat pipih, sebelah kiri-kanan mata terdapat sembilan buah duri, dengan duri terakhir berukuran lebih panjang. Rajungan mempunyai 5 pasang kaki, yang terdiri atas 1 pasang kaki (capit) berfungsi sebagai pemegang, 3 pasang kaki sebagai kaki jalan, dan 1 pasang kaki berfungsi sebagai dayung untuk berenang. Nontji (1986) menyatakan rajungan mempunyai 5 pasang kaki jalan, kaki jalan pertama ukurannya besar, memiliki capit dan kaki jalan terakhir mengalami modifikasi sebagai alat berenang. Kaki jalan pertama tersusun atas daktilus yang berfungsi sebagai capit, propodus, karpus, dan mems. Sedangkan kaki ke lima mengalami modifikasi pada daktilusnya berbentuk pipih dan menyerupai dayung untuk berenang.