Monday, 12 May 2014

Aplikasi Vaksin DNA Pada Ikan Teleost Serta Peranannya dalam Aktivasi Sistem Imun (Spesifik dan Non-Spesifik)


Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi manusia karena mengandung omega-3 serta omega-6 yang tinggi. Saat ini ikan merupakan salah satu menu yang wajib tersedia di atas meja makan, khususnya bagi masyarakat di negara-negara maju terutama di Jepang, Cina, Hongkong, dan Eropa. Cara penyajiannya pun bervariasi. Bakar, goreng, sushi, pepes, berkuah/tanpa kuah, tergantung selera lidah masing-masing.
Kebutuhan pasar yang tinggi diimbangi dengan produksi ikan dalam jumlah yang besar melalui sistem budidaya intensif (budidaya air laut, tawar dan payau) dengan tingkat kepadatan tinggi. Akan tetapi, dengan tingkat kepadatan tinggi tersebut menyebabkan ikan rentan terhadap serangan penyakit baik viral maupun bakterial (MandongaBoy 2014). Serangan penyakit terutama yang disebabkan oleh virus masih menjadi salah satu permasalahan utama dalam kegiatan budidaya ikan. Angka kematian kumulatif yang terkait dengan wabah penyakit viral telah memiliki dampak negatif yang besar pada industri budidaya berupa kerugian ekonomi yang cukup signifikan (Gilad et al. 2003), sehingga perlu perhatian khusus dalam penanganannya.
Salah satu upaya pencegahan terhadap penyakit khususnya yang disebabkan oleh infeksi viral dapat dilakukan dengan cara vaksinasi. Sebagai alternatif penggunaan bahan kimia dan antibiotik, vaksin merupakan cara yang menjanjikan untuk mengendalikan patogen menular seperti virus pada ikan budidaya. Salah satu jenis vaksin yang banyak dikembangkan saat ini adalah vaksin DNA. Dibandingkan vaksin konvensional, vaksin DNA menawarkan metode imunisasi yang dapat mengatasi banyak kelemahan terutama risiko infeksi dan biaya tinggi (Verri et al. 2003). Vaksin DNA juga  bersifat stabil dibandingkan jenis vaksin lainnya, sehingga memudahkan dalam penyimpanan dan yang terpenting adalah kemampuan vaksin DNA untuk mengaktivasi sistem kekebalan tubuh baik spesifik maupun non-spesifik (humoral & seluler) (Lorenzen & LaPatra 2005) melalui inokulasi DNA yang mengandung sekuen plasmid DNA asal virus tertentu yang bersifat imunogenik (Faizal 2010).
Penggunaan vaksin DNA pada ikan budidaya hingga saat ini telah banyak diteliti, baik di luar maupun dalam negeri, dan hasilnya pun menunjukkan sesuatu yang sangat menjanjikan bagi perkembangan dan keberlanjutan industri budidaya perikanan. Aplikasi vaksin DNA terhadap beberapa jenis ikan telah menunjukkan efektifitas yang tinggi, dengan tingkat kelangsungan hidup ikan yang divaksinasi dapat mencapai 80-90% (MandongaBoy 2014). Seperti yang telah diujikan pada ikan rainbow trout untuk infectious haematopoietic necrosis virus (IHNV) oleh Anderson (1996) serta Kim (2000) dan viral haemorrhagic septicaemia virus (VHSV) Lorenzen (1998); Boudinot (1998); Lorenzen (2002); Lorenzen & LaPatra (2005), ictalurid herpes virus 11 (IHV-1) pada channel catfish (Ictalurus punctatus) (Nusbaum 2002), serta KHV pada ikan mas (Nuryati 2010). Berdasarkan data hasil uji coba penggunaan vaksin DNA tersebut, menunjukkan bahwa vaksin DNA dapat memicu dan meningkatkan respon sistem imun ikan, baik imunitas bawaan (non-spesisifik) maupun imunitas adaptif (spesifik) sehingga ikan menjadi kebal terhadap inveksi virus.
Respon kekebalan (sistem imun) tubuh terdiri dari pertahanan bawaan dan pertahanan adaptif (Nehyba et al. 2002). Ikan teleost memiliki sistem pertahanan antiviral bawaan (non-spesifik) berupa interferon (IFN) yang memainkan peran yang krusial pada respon imunitas non-spesifik saat inveksi virus dengan memproduksi dan mensekresikan IFN-a/β (Gahlawat et al. 2009; Robertsen 2008). Interferon menghasil interferon regulatory factor (IRF) yang merupakan regulator utama pada sistem imun nonspesifik terhadap inveksi viral (Bergan et al. 2010, berperanan penting dalam aktivasi transkripsi gen IFN dan memiliki pengaruh utama dalam memahami mekanisme molekular patogen yang menginduksi respon antivirus bawaan dan merupakan regulator kunci dari ekspresi gen IFN pada saat induksi virus (Yao et al. 2012; Honda 2006).
Respon imun adaptif diinduksi oleh antigen yang disajikan oleh molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) (Nehyba et al. 2002), yang mengaktifkan ekspresi sel imun seperti CD4 dan CD8 yang berfungsi untuk mengikat antigen/virus, pertahanan sel dan mengeliminasi antigen/virus (Yanuhar 2011). Respon imun dimulai oleh sel-sel APC (antigen presenting cells) yaitu sel-sel dendrit maupun makrofag setelah vaksinasi dengan vaksin DNA. Sel-sel APC yaitu makrofag dan sel-sel dendrit berisi plasmid DNA yang kemungkinan akan ditranskripsi dan ditranslasi sehingga menghasilkan protein imunogenik, menyembunyikan adanya infeksi patogen intraseluler (cytosolic pathway) dan berikutnya mempresentasikan antigen berupa protein asing di permukaan sel.
Molekul MHC menyajikan peptida endogen ke sel T sitotoksik serta peptida eksogen ke sel T helper (Rakus et al. 2003). MHC bertugas untuk memonitor patogen intraseluler dan terjadinya tumor yang pada gilirannya dapat menghilangkan sel-sel yang terinfeksi dengan mekanisme sitotoksik, menyebabkan aktivitas sel fagositik, produksi antibodi, dan aktivasi sifat imunologi yang terlibat dalam eliminasi parasit, bakteri, jamur dan netralisasi virus (Moulana et al. 2008; Rakus et al. 2009).
Aktivasi respon imun sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat berlangsung akibat adanya induksi dari gen glikoprotein yang berasal dari virus tertentu, yang secara sengaja disisipkan pada konstruksi vaksin DNA. Dengan pemberian vaksin DNA pada ikan budidaya, diharapkan ikan tersebut akan mampu menghasilkan antibodi sehingga ikan menjadi kebal apabila terpapar virus selama masa budidaya. Dan diharapkan pula ikan yang telah divaksinasi tersebut apabila kemudian dikembangkan sebagai induk/tetua, akan menghasilkan anakan/keturunan yang tahan terhadap inveksi virus (MandongaBoy 2014).

Tuesday, 6 May 2014

Potensi Perikanan Budidaya di Sulawesi Tenggara

Sulawesi Tenggara (Sultra) merupakan salah satu wilayah di Indonesia dengan potensi perairan laut yang luas arealnya mencapai ± 114.879 km², dengan panjang garis pantai 1.740 km. Dengan wilayah laut dan garis pantai yang cukup luas menjadikan Sulawesi Tenggara sebagai salah satu wilayah dengan potensi budidaya perikanan laut yang sangat potensial untuk dikembangkan. Potensi budidaya laut berpeluang untuk pengembangan berbagai komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis penting, antara lain rumput laut, mutiara, ikan kerapu, ikan kakap, ikan putih/kuwe, teripang, lobster, kerang-kerangan dan potensi laut lainnya (MandongaBoy 2014).
Akan tetapi, potensi perikanan budidaya tersebut belum termanfaatkan secara optimal. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Penanaman Modal Daerah (BPMD) Provinsi Sultra menunjukkan bahwa baru sekitar ± 24.667,03 hektar potensi budidaya laut yang termanfaatkan dari total potensi ± 396.915 hektar.

Peta Provinsi Sulawesi Tenggara

Budidaya Rumput Laut
Rumput laut (seaweed) adalah komoditas unggulan perikanan budidaya yang produksinya terbesar diantara komoditas unggulan lainnya. Hal ini dikarenakan rumput laut sangat mudah untuk dibudidayakan, teknologi budidayanya telah dikuasai dan mudah untuk diaplikasikan, biaya produksi yang relatif murah dan terjangkau. Bahkan saat ini, dapat dikatakan bahwa rumput laut telah menjadi komoditas budidaya di semua provinsi di Indonesia, termasuk Sulawesi Tenggara.
Salah satu jenis rumput laut yang saat ini banyak dikembangkan di perairan Sulawesi Tenggara yaitu jenis Eucheuma cottonii. Rumput laut dibudidayakan hampir di pesisir setiap kabupaten, diantaranya Konawe Selatan (Konsel) yang luas lahan budidaya 3.210 hektar dengan produksi rumput laut 275,256.41 ton, Konawe Utara yang luas lahan budidaya 514,5 hektar dengan realisasi produksi 6.076,98 ton dan Kota Kendari yang memiliki luas lahan 182 hektar, dengan produksi mencapai 3,288.83 ton pada tahun 2011 (DKP Sulawesi Tenggara 2012), Kota Bau-Bau dengan luas areal perairan yang dapat dimanfaatkan bagi pengembangan budidaya rumput laut berkisar 960 ha di sepanjang garis pantai potensial, memberikan sumbangan sebesar Rp. 12,99 juta (baubaukota.go.id). Seiring terus menjamurnya usaha budidaya rumput laut di Sulawesi Tenggara, berdampak posistif dengan munculnya lokasi-lokasi baru sentra budidaya rumput laut, diantaranya Kabupaten Muna, Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Kolaka Utara, Kabupaten Konawe dan Kabupaten Bombana (MandongaBoy 2011).


Menurut laporan tahunan data statistik perikanan 2011, DKP Provinsi Sulawesi Tenggara, produksi rumput laut Sultra mengalami peningkatan produksi yang sangat besar. Produksi rumput laut di tahun 2007 mencapai 81.787 ton, tahun 2008 sebesar 123.486 ton, tahun 2009 sebesar 185 ribu ton, tahun 2010 sebesar 518 ribu ton, dan meningkat di tahun 2012 mencapai 639 ribu ton.

Tabel 1. Data Produksi Rumput Laut Per Kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara Tahun 2012.
No.
Kab/Kota
Produksi (ton)
1
Kota Kendari
95,00
2
Kota Bau - Bau
118,59
3
Konawe

8.343,75
4
Buton

21.854,24
5
Muna

17.629,85
6
Kolaka

218.878,80
7
Konawe Selatan
299.244
8
Wakatobi
6.315
9
Bombana
45.240
10
Kolaka Utara
7.100
11
Konawe Utara
6.282,10
12
Buton Utara
8.090,87





Budidaya Kerang Mutiara
Mutiara merupakan salah satu komoditas sektor perikanan budidaya yang bernilai ekonomis tinggi dan memiliki prospek pengembangan usaha di masa mendatang, seperti terlihat dari peningkatan permintaan perhiasan dari mutiara dan harganya yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Saat ini, harga mutiara budidaya Indonesia berkisar 4.000 yen per momme (3,75 gram) atau sekitar Rp. 414.000.

Sulawesi Tenggara merupakan salah satu daerah penghasil mutiara jenis South Sea Pearls, “Ratunya Mutiara” yang berasal dari kerang Pinctada maxima, baik dari hasil alam maupun budidaya. Mutiara yang dihasilkan oleh Pinctada maxima mempunyai ukuran yang besar dengan kilau khas. SSP dari P. maxima memiliki keunikan warna maupun kilaunya yang mempesona dan abadi sepanjang masa, sehingga sangat digemari di pasar internasional, dan biasanya diperdagangkan dalam bentuk loose dan jewelry (perhiasan).
Budidaya kerang mutiara di Sulawesi Tenggara menghasilkan butiran mutiara yang diekspor ke luar negeri. Usaha ini selain menyerap tenaga kerja, juga merupakan usaha menggali kekayaan laut yang belum sepenuhnya dikelola. Sayangnya usaha ini membutuhkan modal yang besar, dan penelitian yang lebih mendalam untuk dapat menghasilkan anakan calon induk (MandongaBoy 2011). Sebab selama ini, pengelola masih dibatasi dengan ketergantungan pada calon indukan yang didapat dari alam.
Salah satu lokasi budidaya kerang mutiara di Prov. Sultra yakni di Kecamatan Pasir Putih dan Pulau Kayu Angin, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Namun, belum ada data produksi mutiara dari wilayah ini yang dipublikasikan.
Kab. Buton. Ada dua jenis budidaya mutiara yang kini dibudidayakan dan berkembang di Kota Bau-bau, yaitu Pinctada maxima yang menghasilkan mutiara bundar (round pearl) dan jenis Pteria penqu yang menghasilkan mutiara blister (haft pearl). Jenis Pinctada maxima diusahakan oleh PT. Tiara Indo Pea, sebuah perusahaan PMA dari Jepang. Sedangkan jenis Pteria penqu selain diusahakan oleh perusahaan nasional (CV. Selat Buton) juga banyak dibudidayakan oleh para petani setempat. Produksi mutiara Kab. Buton pada tahun 2012 mencapai 469,92 kg (DKP Sultra 2012).
Budidaya Karamba
            Budidaya sistem karamba merupakan salah satu komoditi unggulan Provinsi Sulawesi Tenggara pada sektor perikanan budidaya. Luas lahan budidaya karamba jaring apung di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) yang dimanfaatkan oleh petani saat ini baru mencapai 95,7 hektare dari potensi yang mencapai 200 hektare. Pada budidaya karamba dikembangkan beberapa jenis ikan ekonomis penting seperti kerapu, ikan putih/kuwe dan baronang.
Selama ini, produksi budidaya ikan karamba jaring apung dan karamba jaring tancap di Kendari dalam setahun baru mencapai 3,5 sampai 5,0 ton. Sedangkan untuk produksi total provinsi Sultra mencapai 9 ton pada tahun 2006, pada tahun 2007 mencapai 458 ton, dan meningkat menjadi 548.84 ton pada tahun 2012.

Budidaya Teripang Pasir
Teripang atau ketimun laut termasuk ke dalam kelas Holothuroidea merupakan salah satu produk perikanan yang telah lama dikenal dan dikonsumsi oleh masyarakat pesisir di Indonesia, dan juga sangat dikenal di negara Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat. Selain bernilai ekonomis, kandungan nutrisinya cukup tinggi: kandungan protein 43,1 %, lemak 2,2 %, kadar air 27,1 %, kadar abu 27,6 %, dan kalsium, natrium, phospor serta mineral lainnya 1,2 - 16,5%. Di pasaran internasional teripang dikenal dengan nama teat fish atau gamat, karena kandungan nutrisinya yang tinggi dan sehat untuk dikonsumsi menyebabkan permintaan dunia akan komoditi ini terus meningkat dari tahun ketahun.
Jenis teripang yang banyak dibudidayakan adalah Holothuria scabra atau lebih dikenal dengan nama teripang pasir atau teripang putih atau teripang kapur (teripang susu). Teripang pasir banyak ditemukan di perairan jernih dengan dasar berpasir, hancuran batu karang dan di sekitar terumbu karang. Harga teripang di pasar lokal berkisar Rp 30.000 – Rp 150.000 per kg, sedangkan di pasar internasional berkisar antara Rp. 180.000 – Rp. 660.000 per kg kering bergantung jenis,  ukuran dan kualitas pengolahannya (MandongaBoy 2014).

Budidaya teripang telah lama dilakukan oleh masyarakat kita khususnya yang bermukim di daerah pesisir termasuk di daerah Sulawesi Tenggara. Seiring dengan dikuasainya teknologi pembenihan dan pembesaran teripang, maka usaha budidaya teripang pun ikut mengalami peningkatan. Dalam waktu enam bulan pemeliharaan dari benih ukuran 100 – 150 g (berat basah), teripang pasir dapat mencapai berat 600 – 700 g (berat basah) saat panen. Bahkan teripang pasir dapat mencapai ukuran 1500 g apabila dipelihara pada kedalaman 5 – 6 meter selama enam bulan.
Lokasi pembudidayaan teripang pasir di Sulawesi Tenggara meliputi Kabupaten Kolaka dan Kabupaten Muna. Data produksi teripang di beberapa daerah sebagai berikut:
  • Kab. Kolaka, 3,7 ton pada tahun 2003 menjadi 7,02 ton pada tahun 2007 (DKP Kab. Kolaka, 2007), dan mencapai 14,6 ton pada tahun 2012 
  •  Kab. Muna, tahun 2012 mencapai 0.59 ton kering.

Masih kurangnya pemanfaatan potensi lahan budidaya perikanan (kurang dari 10%) sebagaimana telah dijelaskan di atas, memerlukan perhatian khusus dari segala pihak baik masyarakat, peneliti dan juga pemerintah. Dengan partisipasi seluruh elemen tersebut serta promosi potensi wilayah maka diharapkan akan dapat mengundang ketertarikan investor baru, menciptakan peningkatan peluang dan kemampuan usaha yang telah berlangsung sebelumnya, serta berpeluang membuka usaha baru di bidang budidaya perikanan. Sehingga akan menciptakan masyarakat terutama petani budidaya perikanan yang sejahtera, yang selanjutnya akan berdampak pada pembangunan dan kemajuan daerah di Sulawesi Tenggara (MandongaBoy 2014).

Monday, 5 May 2014

Pembesaran Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) di Karamba Jaring Apung



Kerapu merupakan salah satu ikan yang mempunyai nilai ekonomis penting dan mempunyai peluang pasar yang cukup besar, baik domestik maupun luar negeri sehingga cukup potensial untuk dikembangkan (Mansyur 1995 dalam Nurmiati 2006). Ikan kerapu merupakan jenis ikan karang yang berprospek cukup cerah karena kelezatan dagingnya. Terdapat beberapa jenis kerapu yang banyak dibudidayakan, seperti kerapu tikus/bebek (Cromileptes altivelis), kerapu lumpur (Epinephelus bleekeri), kerapu macan (E. fuscoguttatus) dan kerapu sunuk/merah/lodi (Plectropomus leopardus).
Salah satu jenis kerapu yang memiliki harga jual tinggi mencapai ratusan ribu rupiah per kilogram adalah kerapu tikus (C. altivelis). Dalam bahasa Inggris, kerapu tikus/bebek disebut humpback grouper atau panther grouper dan khususnya di Australia, lebih dikenal dengan nama barramundi cod (id.wikipedia.org). Permintaan pasar yang terus meningkat, baik untuk pasar ekspor maupun lokal. Tak heran kalau ikan ini diincar oleh banyak pengusaha untuk dibesarkan dalam keramba jaring apung. Peluang pembesarannya pun terbuka luas karena lahan untuk keramba jaring apung di Indonesia cukup tersedia.
Disamping itu, teknologi budidaya kerapu tikus yang sudah dikuasai, mulai dari pembenihan, pendederan, penggelondongan hingga pembesaran. Dari informasi pasar diketahui permintaan terhadap kerapu tikus, baik ukuran kecil sebagai ikan hias maupun ukuran konsumsi (MandongaBoy 2011), terus meningkat. Kerapu tikus ukuran kecil (4 – 5 cm) laku dijual dengan harga Rp. 7000/ekor, sedangkan ukuran konsumsi dengan berat 400 – 600 gr/ekor laku dijual di pasar lokal dengan harga Rp. 300000 – Rp. 350000 per kilogramnya.  Bahkan, untuk pasaran ekspor seperti Hongkong, Taiwan dan Cina Daratan, harga kerapu tikus ukuran konsumsi mencapai US$ 55 per kilogram (berbagai sumber).
Sampai saat ini yang dapat dipenuhi oleh pasar baru sebagian kecil dari permintaan. Di Indonesia, pembenihan dan pembesaran kerapu telah mulai dikembangkan sebagai alternatif dalam mengantisipasi kekurangan kerapu akibat meningkatnya permintaan pasar (Akbar 2002). Namun demikian, usaha ini belum dapat memenuhi kebutuhan pasar akan kerapu sehingga sebagian dari benih yang dibudidayakan ataupun yang dijual berasal dari hasil tangkapan di alam (Diani 1993), sehingga tidak kontinu, tergantung populasinya di alam.
Melihat tingginya permintaan dan harga jualnya yang cukup tinggi, maka peluang membesarkan kerapu tikus dalam keramba jaring apung terbilang cukup baik. Berkembangnya usaha pembesaran kerapu tikus diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat, serta dapat meningkatkan devisa negara.

Klasifikasi dan Morfologi

Menurut Randall (1987) dalam Subyakto dan Cahyaningsih (2003), ikan kerapu tikus/tikus tergolong ke dalam Filum Chordata, Sub filum Vertebrata, Kelas Osteichtyes, Sub kelas Actinopterigi, Ordo Percomorphi, Sub ordo Percoidea, Famili Serranidae, Genus Epinephelus, Spesies Cromileptes altivelis.
Gambar 1. Morfologi ikan kerapu tikus (C. altivelis)

Kerapu tikus memiliki sirip dorsal (punggung), sirip anal (perut), sirip pektoral (dada), sirip garis lateral (gurat sisi), dan sirip caudal (ekor).  Selain sirip, dibagian tubuhnya terdapat sisik yang berbentuk sikloid.  Bentuk tubuh bagian punggung meninggi dengan bentuk cembung (concave).  Ketebalan tubuh sekitar 6,6 – 7,6 cm dari panjang spesifik.  Sementara panjang tubuh maksimalnya mencapai mencapai 70 cm.  Ikan ini tidak memiliki gigi canine (gigi yang terdapat pada geraham ikan).  Lubang hidungnya besar berbentuk bulan sabit vertikal.  Kulitnya berwarna terang abu-abu kehijauan dengan bintik-bintik hitam di seluruh kepala, badan dan sirip.  Pada kerapu tikus muda, bintik hitamnya lebih besar dan sedikit (Akbar, 2002).

Habitat dan Penyebaran

            Dalam siklus hidupnya kerapu tikus muda hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5 – 3,0 m.  Kerapu tikus muda dan larva banyak terdapat di perairan pantai dekat muara sungai dengan dasar perairan berupa pasir berkarang yang banyak ditumbuhi padang lamun.  Menginjak masa dewasa, ikan ini bermigrasi ke perairan yang lebih dalam, antara 7 – 40 m.  Biasanya perpindahan ini berlangsung pada siang dan sore hari.  Telur dan larva bersifat pelagis, sedangkan kerapu muda hingga dewasa bersifat demersal.
            Daerah penyebaran kerapu tikus dimulai dari Afrika Timur sampai Pasifik Barat daya.  Di Indonesia sendiri kerapu tikus banyak ditemukan di perairan pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, Buru dan Ambon.  Salah satu indikator adanya kerapu tikus ini adalah perairan karang yang di Indonesia cukup luas (Akbar, 2002).

Reproduksi dan Daur Hidup

            Kerapu tikus bersifat hermafrodit protogini, yaitu pada perkembangan mencapai dewasa (matang gonad) berjenis kelamin betina dan akan berubah menjadi jantan bila sudah tumbuh menjadi lebih besar atau umurnya bertambah tua.  Induk kerapu tikus mengalami matang gonad sepanjang tahun (Akbar, 2002). 

Makanan dan Kebiasaan Makan

Pakan ikan kerapu untuk tahapan pembesaran berupa ikan rucah (ikan non ekonomis) yaitu antara lain ikan tembang, selar, dan rebon. Ikan rucah dipotong-potong untuk menyesuaikan dengan mulut ikan. Selama masa pendederan diberikan pakan sebanyak 2 – 3 kali sehari sampai ikan terlihat kenyang.  Memasuki tahap pembesaran, pakan ikan rucah diberikan per hari sebesar 15 % dari total biomass ikan kerapu berukuran 20 - 50 g. Seterusnya jumlah pakan diturunkan seiring dengan pertumbuhan ikan. Jumlah pakan dapat diturunkan menjadi 10 % dari biomass untuk ikan seberat 100 gram. waktu pemberian pakan yang terbaik adalah sesaat setelah matahari terbit atau sesaat sebelum matahari terbenam (http://www.bangka.go.id/kr_pengantar.htm).

Pemilihan Lokasi Budidaya

Salah satu faktor yang menunjang keberhasilan pembesaran ikan kerapu dengan metode KJA adalah pemilihan lokasi yang tepat. Hendaknya lokasi yang digunakan memenuhi persyaratan ekologis serta persyaratan teknis demi keberlanjutan usaha (kontinuitas). Faktor pemilihan lokasi yang tepat meliputi dua faktor, yaitu persyaratan umum dan persyaratan kualitas air.

A. Persyaratan Umum

Adapun faktor persyaratan umum yang harus ketahui dalam pemilihan lokasi budidaya antara lain :
Terlindung dari angin dan gelombang
Perairan yang dipilih harus bebas dari hempasan gelombang besar dan angin yang kuat. Karena perairan terbuka dapat merusak konstruksi sarana pembesaran (rakit) dan dapat mengganggu aktifitas budidaya. Tinggi gelombang untuk pembesaran kerapu tidak boleh 0,5 meter baik pada musim barat maupun timur.
Kedalaman perairan
Kedalaman yang ideal adalah 15-30 meter. Kedalaman pada surut terendah (>5 meter) untuk menghindari pengaruh kualitas air dari sisa kotoran ikan yang membusuk dan sering terjadi serangan ikan buntal yang merusak jaring. Sebaliknya kedalaman >30 meter membutuhkan tali jangkar yang terlalu panjang.
Dasar perairan
Sehubungan dengan habitat asli ikan kerapu adalah daerah berkarang dan dasar perpasir maka dasar perairan yang ideal dipilih untuk lokasi keramba jaring apung adalah perairan yang berkarang dan berpasir putih.
Jauh dari limbah pencemaran
Limbah rumah tangga dapat menyebabkan tingginya konsentrasi bakteri di perairan. Limbah buangan industri bisa menyebabkan tingginya konsentrasi logam berat sedangkan limbah buangan tambak dapat meningkatkan kesuburan perairan yang menyebabkan suburnya pertumbuhan organisme penempel seperti teritip dan kekerangan lainnya yang dapat merusak jaring.

Tidak ada alur pelayaran
Lokasi yang dekat atau berada di alur pelayaran tidak hanya menggangu pelayaran, akibat suara mesin motor atau perahu yang lalu lalang juga gelombang dan pusaran air yang ditimbulkannya juga dapat mengganggu ikan peliharaan.


Tersedia sumber pakan
Hal ini cukup penting karena pakan merupakan kunci pembesaran ikan kerapu tikus dan macan. Lokasi dekat dengan daerah penangkapan ikan menggunakan lifnet atau bagan bisa dijadikan pilihan karena akan mudah mendapatkan pakan berupa ikan segar dan murah. Selain itu daerah yang dekat dengan tempat pelelangan ikan pun akan menjamin kontinuitas pengadaan ikan rucah.



Dekat dengan sarana dan prasarana transportasi
Tersedianya sarana dan prasarana berupa jalan darat menuju lokasi merupakan lokasi yang baik karena memudahkan transportasi benih dan hasil panen.

Keamanan
Keamanan merupakan faktor penting seperti kekhawatiran akan pencurian yang bisa mengakibatkan kerugian.

B.  Persyaratan kualitas air

Adapun faktor persyaratan kualitas air yang harus ketahui dalam pemilihan lokasi budidaya antara lain :

1. Kualitas fisik air

Yang dimaksud dengan kualitas fisik air antara lain adalah kecepatan arus dan kecerahan air.

Kecepatan arus
Kecepatan arus ideal untuk pembesaran ikan kerapu antara 15-30 cm/detik. Kecepatan arus >30 cm/detik dapat mempengaruhi posisi jaring dan sistem penjangkaran. Kuatnya arus dapat menggeser posisi rakit, sebaliknya arus yang terlalu kecil dapat mengurangi pertukaran air keluar masuk jaring dan berpengaruh terhadap ketersediaan oksigen dalam wadah pemeliharaan, serta mudahnya penyakit terutama parasit menyerang ikan pemeliharaan. Aliran arus harus mampu mengalirkan buangan sisa pakan dan limbah keluar daari areal pembudidayaan secara periodik dan terjadi pengenceran secara alami.

Kecerahan
Perairan yang tingkat kecerahannya sangat tinggi bahkan sampai tembus dasar merupakan indikator lokasi yang baik untuk pembesaran. Sebaliknya dengan tingkat kecerahan yang rendah menandakan tingkat bahan organik terlarut sangat tinggi. Perairan ini dikategoorikan cukup subur dan tidak baik untuk pembesaran karena kondisi tersebut menyebabkan cepatnya perkebangan organisme penempel seperti lumut, cacing, kekerangan. Kecerahan perairan yang cocok untuk pembesaran kerapu adalah >2 meter.

2. Kualitas kimia air

Untuk mengetahui kualitas  kimia air ada beberapa hal parameter yang perlu diketahui antara lain :
Salinitas/kadar garam
Salinitas yang ideal untuk pembesaran adalah 30-33 ppt. Lokasi yang berdekatan dengan muara tidak dianjurkan karena salinitasnya sangat berfluaktuasi, hal ini dipengaruhi oleh masuknya air tawar dari sungai. Salinitas yang berfluktuasi bisa mempengaruhi pertumbuhan dan nafsu makan ikan.

Suhu
Suhu optimum untuk pertumbuhan ikan adalah 27-32oC. Perairan laut mempunyai kecenderungan bersuhu konstan.

pH
pH yang cocok untuk pembesaran kerapu berkisar 7.8 – 8.2. Perairan dengan pH rendah mengakibatkan aktifitas tubuh menurun dan kondisi ikan menjadi lemah sehingga mudah terkena infeksi yang bisa mengakibatkan mortalitas/kematian tinggi.

Oksigen terlarut (DO)
Oksigen terlarut sangat dibutuhkan bagi kehidupan ikan. Konsentrasi oksigen dalam air dapat mempengaruhi pertumbuhan, konversi pakan dan mengurangi daya dukung perairan. Kerapu tikus dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dengan konsentrasi DO lebih dari 4.8 ppm.

Teknik Pemeliharaan/Pembesaran

Penebaran benih sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari untuk menghindari stres akibat kondisi lingkungan.  Sebelum ditebarkan, benih harus diaklimatisasi dalam bak pendederan.  Padat penebaran benih berukuran 1,5 cm berkisar 1 – 3 ekor per liter (Akbar, 2002).  Pendederan terhadap benih kerapu berumur 60 hari (3 – 5 cm) dilakukan dalam keramba berukuran 1 x 1 x 1,5 m hingga mencapai berat 9 – 12 gram selama sekitar tiga bulan (www.kompas.com).
Sedangkan untuk pembesaran dalam KJA, padat penebaran untuk benih kerapu tikus dengan panjang 3 – 4 cm dan berat 1,2 kg adalah 300 ekor per kantong waring.  KJA yang digunakan untuk pembesaran biasanya berbentuk kotak berukuran 8 x 8 meter, yang terdiri dari 4 kotak dengan ukuran 3.2 x 3.2 meter untuk masing-masing kotaknya (MandongaBoy 2011). Setelah dibesarkan selama 1,5 – 2 bulan, kepadatannya dikurangi menjadi 150 ekor per kantong waring.  Kepadatan ini dapat dipertahankan hingga masa pemeliharaan 3 – 4  bulan.  Setelah masa pemeliharaan 5 – 7 bulan kepadatan harus dikurangi menjadi 75 ekor per kantong.  Dan menjadi 25 – 30 ekor/m3 setelah umur di atas 7 bulan (Akbar, 2002).
Dalam pembesaran kerapu tikus, kepadatan tebar sangat menentukan tingkat pertumbuhan dan kehidupan ikan.  Bila terlalu padat, laju pertumbuhan akan berkurang akibat adanya persaingan ruang, oksigen, dan pakan (Akbar, 2002).  Biasanya kerapu tikus sudah mencapai ukuran konsumsi dan sudah dapat dipanen pada umur 7 bulan pemeliharaan.  Namun, terkadang  para petani kerapu tikus memelihara ikannya selama 10 – 12 bulan.  Hal ini dilakukan untuk memperoleh kerapu tikus dengan ukuran super yang banyak diminati di pasaran luar negeri (komunikasi personal).

Panen dan Pasca Panen

Pada umumnya kerapu tikus lebih banyak dijual dalam keadaan hidup karena harga jualnya lebih tinggi dibandingkan dengan yang sudah mati.  Oleh karena itu, kesegaran ikan harus dipertahankan.  Untuk menjaga agar ikan tetap sehat dan segar, pemanenan sebaiknya dilakukan pada sore hari karena suhu relatif lebih rendah, serta dapat menunjang transportasi hasil panen yang biasanya dilakukan pada malam hari.
Sebelum ikan dipanen, perlu dilakukan sampling, dengan cara mengambil ikan sebanyak 5% dari jumlah total ikan.  Hal ini dimaksud agar dapat diperkirakan jumlah, ukuran, dan mutu hasil panen yang kelak akan diperoleh. Pemanenan kerapu tikus dilakukan setelah masa pemeliharaan 10 – 12 bulan, dan ikan sudah mencapai ukuran berat 2 kg/3 ekor, dengan tingkat kelangsungan hidup sebesar 84,5% (komunikasi personal).
Panen dapat dilakukan dengan cara selektif atau panen total. Pemanenan ikan konsumsi dapat dilakukan dengan cara mengangkat jaring pemeliharaan dengan menggunakan kayu.  Caranya ialah dengan melewatkan kayu dari bawah jaring yang kemudian diangkat sehingga jaring pemeliharaan terbagi menjadi dua.  Dengan cara ini akan memudahkan pemanenannya, baik secara selektif maupun total (Akbar, 2002).
Sebelum dipasarkan, kerapu tikus yang telah dipanen sebaiknya dipuasakan selama 6 – 24 jam, tergantung dari ukuran ikan.  Pemuasaan bertujuan untuk menghindari terjadinya buangan sisa-sisa metabolisme yang dapat menurunkan kualitas air dalam wadah penyimpanan. Setelah dipuasakan, kemudian kerapu tikus tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik yang diberi tambahan oksigen murni sekitar 2/3 volume kantong.  Kemudian ujung kantong diikat kuat dengan menggunakan karet gelang.  Selanjutnya kantong-kantong tersebut dimasukkan ke dalam wadah styrofoam.  Untuk menjaga naiknya suhu air maka pada susunan kantong teratas diletakkan sebanyak 1 – 2 kantong plastik es.  Kemudian wadah styrofoam ditutup rapat dan diberi perekat (lakban).  Selanjutnya di bagian atas kardus styrofoam diberi label yang berisi jenis, jumlah ikan, dan data lain yang sesuai (Akbar, 2002).

Penyakit

Berdasarkan hasil pemantaun lapangan serta  komunikasi personal dengan petani KJA kerapu tikus, terdapat beberapa jenis penyakit yang seringkali menyerang ikan kerapu tikus dalam KJA adalah sebagai berikut :
1.      Kutu ikan (monogenia), merupakan parasit jenis kutu ikan dari gologan crustacea berukuran 2 – 3 mm, berwarna transparan sehingga tidak tampak oleh mata telanjang. Gejalanya yaitu luka pada sirip punggung ikan, nafsu makan menurun.
2.      Vibriosis, yaitu jenis penyakit yang disebabkan karena serangan bakteri Vibrio sp., dengan gejala perut ikan menjadi kembung (pengumpulan cairan di perut), radang berwarna merah pada bagian anus.
3.      Kelainan, berupa mulut kerapu tikus yang bengkok ke atas.