Thursday 22 March 2012

Spesific Dynamic Action (SDA) Pada Ikan Berlambung dan Tidak Berlambung


Specific Dynamic Action (SDA) mengacu pada laju peningkatan metabolisme berdasarkan makanan yang dikonsumsi, cost energi total yang berkaitan dengan ingestion, digestion, absorpsi, proses biokimia dan asimilasi pakan (Fu 2007). Besarnya specific dynamic action (SDA) didefinisikan sebagai jumlah produksi metabolik  berupa kelebihan panas yang diinduksi oleh pakan yang dicerna, terintegrasi dari metabolisme, meningkat untuk pertama kalinya ketika jatuh kembali ke tingkat terendah, atau tingkat resting (Chakraborti 1992).
Besarnya SDA dinyatakan dalam mgO2 (atau diubah menjadi kJ atau kkal) merupakan jumlah total oksigen yang dikonsumsi, atau energi yang dikeluarkan oleh ikan dalam respon SDA. Besarnya SDA dapat ditentukan dengan memplot kurva konsumsi oksigen yang meningkat setelah makan versus waktu sampai kecepatannya menurun setelah makan dan kemudian menggabungkan daerah di bawah kurva. Cara ini merupakan cara yang umum digunakan untuk mengekspresikan SDA sebagai persentase dari nilai total kalori makanan yang dicerna (Chakraborti 1992).
Studi SDA pada ikan lebih sering menggambarkan SDA sebagai fungsi dari persen protein dalam pakan (McCue 2006). Pada ikan, SDA adalah komponen besar bioenergetika total, yang mewakili antara 5 dan 20% dari energi bruto dalam proses pencernaan (Fitzgibbon 2007).
Banyak peneliti telah melaporkan bahwa besarnya SDA meningkat secara linear yang berkaitan dengan ukuran makanan atau berhubungan secara eksponensial. SDA juga dipengaruhi oleh komposisi pakan dan telah ditemukan bahwa hal ini berkorelasi positif dengan kandungan protein dalam pakan. Besarnya SDA pada ikan sangat bervariasi mendekati hampir 30% dari energi kotor makanan yang dicerna. SDA pada ikan herbivora lebih kecil dibandingkan pada ikan omnivora yang mengkonsumsi pakan dengan energi yang setara.
Produksi panas paling tinggi dilepaskan dalam proses metabolisme protein, dan yang terendah adalah metabolisme karbohidrat dan lemak. Hal ini disebabkan karena protein merupakan sumber energi utama yang digunakan dalam maintenance seperti sintesis jaringan (Chakraborti 1992) baru kemudian karbohidrat dan lemak. Secor (2008) mengemukakan bahwa besarnya SDA pada bahan protein disebabkan katabolisme asam amino melibatkan beberapa sumber produksi panas, termasuk deaminasi asam amino, transaminasi dari gugus amino, residu karbon baik yang teroksidasi atau digunakan untuk membentuk glukosa (glukoneogenesis) atau lipid (ketogenesis), pembentukan dan ekskresi produk sampingan nitrogen (amonia, urea, atau uric acid) (MandongaBoy 2011). Berikut ini akan diuraikan hasil penelitian mengenai Specific Dynamic Action (SDA) pada ikan berlambung dan tidak berlambung.
A. Ikan Berlambung
            Hasil penelitian Fu (2007), SDA pada ikan Southern catfish yang diberi pakan protein (PRO), lipid (LIP), karbohidrat (CHO) dan pakan campuran (MIX) menunjukkan tingkat konsumsi oksigen pada semua perlakuan meningkat setelah makan tetapi tidak mendapatkan respon metabolik postprandial, yaitu kurva konsumsi oksigen (Gambar 1).
Gambar 1.  Respon metabolik postprandial pada Southern catfish (Silurus meridionalis Chen)  yang diberi pakan kasein, minyak jagung dan pati jagung serta campuran yang diisi dalam usus ikan grass carp (Fu 2007).
 Tingkat metabolisme puncak ikan yang diberi pakan campuran MIX (76,7 mgO2h-l) signifikan lebih tinggi dari kelompok PRO (66,1 mgO2h-l), sedangkan kelompok PRO signifikan lebih tinggi dibandingkan kelompok lainnya (P<0,05). Tidak ada perbedaan yang signifikan dari tingkat metabolisme puncak di antara LIP (56,1 mgO2h-l), CHO (54,0 mgO2 h-l) dan CON (56,1 mgO2h-l). Durasi SDA masing-masing adalah 32, 32, 30, 14 dan 10 jam untuk kelompok MIX, PRO, LIP, CHO dan CON.
Tabel 1. Efek makronutien sebagai parameter SDA pada southern catfish Silurus meridionalis Chen (Fu 2007).
                        CON = kontrol                                    PRO = protein (casein)
                         LIP = lipid (minyak jagung)               CHO = karbohidrat (pati jagung)
            Pada ikan Southern catfish (meridionalis Chen) menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan massa tubuh, tingkat metabolisme resting atau energi yang dikonsumsi di antara kelompok perlakuan yang diamati (Tabel 1) (Fu 2007). Total energi yang dikeluarkan untuk SDA pada perlakuan PRO (0,55 kJ) dan MIX (0,48 kJ) secara signifikan lebih tinggi dari LIP (0,30 kJ) (P <0,05) , sedangkan perlakuan PRO secara signifikan lebih tinggi dari CHO (0,15 kJ) dan CON (0,10 kJ) (P <0,05) (MandongaBoy 2011). Energi yang dikeluarkan pada SDA kasein (0,46 kJ) dan makronutrien campuran (0,40 kJ) secara signifikan lebih tinggi dari minyak jagung (0,20 kJ) (P <0,05), sedangkan minyak jagung secara signifikan lebih tinggi dibanding pati jagung (0,04 kJ) (P <0,05). Koefisien SDA keseluruhan (nutrisi ditambah usus) dari MIX, PRO, LIP, CHO dan CON adalah 7,64, 9,33, 4,81, 2,54 dan 8,91%, masing-masing.
Koefisien SDA kasein (9,41%) secara signifikan lebih tinggi dari makronutrien campuran (7,43%) (P<0,05), makronutrien campuran lebih signifikan dibandingkan kelompok minyak jagung (3,97%) dan tepung jagung (0,84%) (P<0,05). Koefisien SDA pati jagung lebih rendah dibandingkan dengan kelompok lainnya (P<0,05). Laju metabolisme puncak dan koefisien SDA ikan yang diberi pakan protein (9,33%) lebih besar dibandingkan kelompok ikan yang diberi pakan lipid (4,81) dan karbohidrat (2,54).
Koefisien SDA minyak jagung sebesar 3,97%, mendekati nilai dari hasil penelitian sebelumnya pada spesies ikan lain (<5%). Minyak jagung mudah dicerna dan mempunyai protein sparing efek pada ikan southern catfish. Koefisien SDA yang lebih rendah pada pakan lipid menunjukkan bahwa penggunaan energi dalam proses pencernaan lipid lebih rendah dibandingkan dengan protein (Fu 2007).
Keseimbangan nutrisi pada pakan dapat mempengaruhi SDA, khususnya kandungan protein dan keseimbangannya dengan sumber energi non protein. Deaminasi asam amino dianggap proporsi yang signifikan dari SDA pada ikan karnivora. Pakan dengan kadar protein yang berlebih atau sumber energi non-protein yang tidak mencukupi (karbohidrat, lemak) dapat meningkatkan pengeluaran energi SDA sebagai akibat dari meningkatnya deaminasi asam amino (Fitzgibbon 2007). Asam amino yang diserap selama proses pencernaan disebut deaminasi atau transaminasi terutama di hati, diikuti dengan penyimpanan atau pemanfaatan, sedangkan grup NH yang dapat dibebaskan mungkin dibebaskan atau dipertahankan untuk mensintesis asam amino (Fu 2007).
B. Ikan Tidak Berlambung
            Hasil penelitian Chakraborti (1999) terhadap ikan mas menunjukkan bahwa konsumsi oksigen meningkat secara bertahap di atas prefeeding atau tingkat resting setelah makan dan dilanjutkan selama beberapa jam, mempunyai satu atau lebih nilai puncak diikuti oleh penurunan ke tingkat resting. Dengan rataan konsumsi oksigen ikan di atas tingkat rataan resting dengan berbagai tingkat protein diet dan ransum level 1%. Peningkatan yang signifikan (p<0,05) dalam konsumsi oksigen terlihat dengan peningkatan kandungan protein dalam diet.
Gambar 2. Fitur SDA dari Cyprinus carpio yang diberi 20%, 35% dan protein pakan 50% pada tingkat ransum 1,00% (khas). Nilai adalah rataan selama periode eksperimental. Panah menunjukkan waktu makan.
Tingkat puncak digambarkan sebagai tingkat konsumsi oksigen tertinggi di atas kondisi resting atau sebelum makan. Tingkat yang dicapai dalam durasi ini meningkatkan konsumsi oksigen. Puncak konsumsi oksigen pasca prandial diet dengan protein 20% meningkat secara signifikan (p<0,05) dengan peningkatan asupan energi dalam pakan (MandongaBoy 2012). Nilai oksigen puncak konsumsi berkisar antara 195 sampai 358 mgO2/kg/h mgO2/kg/h (Gambar 2). Durasi SDA bervariasi dari 8-20 jam. Koefisien SDA berkisar 6,6-12,06% memiliki nilai rata-rata 8,997 (Gambar 2.), dan peningkatan persen post-feeding konsumsi oksigen diatas resting secara signifikan berkorelasi positif (p<0,05), r = 0,898) dengan kisaran 45,96% - 159,25%.
Pakan dengan kandungan protein 35% menunjukkan peningkatan aktivitas pernafasan ikan. Dalam percobaan ini, konsumsi oksigen mencapai tingkat puncak yang lebih besar diikuti oleh penurunan ke tingkat resting. Dengan konsumsi oksigen puncak berkisar dari 244,91 mg/kg/jam pada energi diet 0,4% menjadi 430,40 mg/kg/jam pada energi diet 1,0%. Dan besarnya SDA berkisar dari 693 sampai 2206 mgO2 mgO2/kg/kg (Gambar 2). Durasi SDA berkisar 12-19 jam dan meskipun ini secara signifikan berkorelasi dengan asupan energi (p<0,05), mungkin lebih baik dianggap sebagai respon yang tidak teratur terhadap asupan energi (Gambar 2.). Waktu yang diperlukan untuk mencapai nilai puncak berkisar dari 2 sampai 7 jam.
Respon aktivitas pernafasan terhadap diet dengan kadar protein 50% pada level  ransum yang berbeda (0,4% sampai 1,0%), terdapat beberapa variasi pada respon dengan korelasi yang jelas antara level ransum dan konsekuen SDA magnitude, durasi dan puncak respon. Konsumsi oksigen maximum (puncak) seperti halnya pada pada dengan kadar protein 20% dan 35%, durasi dan besarnya SDA secara signifikan berkorelasi positif dengan peningkatan asupan energi. Konsumsi oksigen puncak mencapai 288 mg/kg/jam dengan ransum 0,4% dari bobot tubuh, meningkat menjadi 420 mg/kg/jam pada ransum 1,0% bobot tubuh. Durasi SDA berkisar antara 10-21 jam dan besarnya SDA berkisar dari 866 mgO2/kg/h (tingkat ransum 0,4%), menjadi 2300 mgO2/kg/h (pada tingkat ransum 1,0%).
SIMPULAN
            SDA dipengaruhi oleh struktur dan fungsi organ-organ pencernaan yang secara langsung berhubungan dengan kebiasaan makanan dan gaya hidup ikan. Perbedaan yang nyata dalam fisiologi makanan antara ikan tidak berlambung dan berlambung yaitu perbedaan aktivitas sistem enzim post-absorptive untuk protein, karbohidrat, aktivitas enzim pada jenis pakan, tingkat pencernaan dan kecernaan.

No comments:

Post a Comment