Ketam
kelapa (Birgus latro)
selama hidupnya memiliki dua habitat yaitu laut dan daratan. Proses inkubasi
dan matang telur berada di daratan, masa penetasan telur berada di daerah
pantai kemudian burayak sebagai larva planktonik yang hidup bebas di laut, dan
tahap dewasa kembali ke daratan. Ketam kelapa yang sudah dewasa melakukan
perkawinan di darat, kemudian ketam betina akan mengerami telur. Ketika telur
telah siap menetas, ketam betina berjalan menuju laut untuk melepaskan telur
dengan berjalan diatas batu-batuan pada perbatasan daerah pasang surut, sehingga
ombak yang datang memecah akan membasahi bagian atas tubuhnya secara teratur.
Pada saat telur-telur tersebut kontak dengan air laut, setelah menetas zoea
dilepaskan ke dalam laut (Brown dan Fielder 1991).
Telur-telur yang menetas pada tahap zoea pertama
lamanya 4-9 hari, biasanya 5-6 hari, pergantian ke tahap zoea kedua dimulai
pada hari ke empat dari kehidupan larva dan mencapai puncaknya pada hari ke
lima dan hari ke enam. Tahap zoea berlangsung 3 – 15 hari dari kehidupan larva
dan sebagian selesai dalam waktu 10 hari. Lamanya tahap zoea ke tiga 3 -18
hari, tetapi biasanya 8-9 hari. Pergantian pada tahap zoea ke empat dimulai
tepat pada hari ke 15 dari kehidupan larva dan dilanjutkan kira-kira hari ke
24. Burayak yang mengalami pergantian kulit pada hari ke 18 - 20, biasanya pada
hari ke 18-lah pergantian kulit berlangsung sangat aktif. Sedangkan lamanya
tahap zoea keempat dan penyempurnaan atau tahap metazoa adalah 6 -12 hari dan
akhirnya ketika usia larva 20 -30 hari ketam berada dalam tahap terakhir
pergantian zoea untuk berubah ke tahap post larva “glaocothoe” (M’Boy
2014). Shokita et al. (1991) membagi tahap perkembangan zoea mulai dari tahap
zoea I hingga zoea V. Pada tahap-tahap ini bentuk tubuh ketam kelapa menyerupai
udang. Sesudah tahap zoea V tubuh berubah bentuk menjadi glaucothoe (megalopa).
Glaucothoe akan mencari cangkang gastropoda yang kosong sebagai tempat
berlindung dan kemudian hidup di perairan dangkal. Ketam kelapa berada dalam
cangkang selama kurang lebih 6 bulan (Morton (1991) dalam Sahami (1994).
Ketam kelapa bermigrasi dan memulai
hidupnya di darat setelah menjadi juvenil.
Kadang-kadang tahap zoea ke lima ini terjadi,
tetapi sedikit sekali pengetahuan tentang lamanya zoea ke lima. Biasanya tahap
zoea ke lima ini sama seperti tahap zoea ke empat yaitu kurang dari enam hari.
Tahap ini penting karena memperhatikan campuran antara karakteristik zoea dan “glaucothoe”
jika diperhatikan pada umbai dada yang berhubungan dengan lipatan tertutup cephalothorax
dan banyaknya setae pada pleopod dan abdomen. Ciri lainnya adalah bentuk telson
dan perlindungan terhadap segmen abdomialnya.
Fase post larva “glaucothoe” merupakan tahapan yang
terpenting dalam pertumbuhan Birgus latro. Pada tahapan ini terjadi
perubahan seperti amphibi. Perkembangan selanjutnya telah dapat berenang dengan
menggunakan pleopodnya atau bergerak perlahan-lahan di daratan. Pada tingkatan
ini ketam tersebut mulai menggunakan cangkang. Biasanya “glaucothoe” memilih
cangkang gastropoda yang kecil dan bermigrasi dari lautan ke daratan. Seperti
halnya tingkah laku yang khas sebagai anggota infra ordo Anomura (kalaumang).
Setelah itu bergerak perlahan-lahan menuju daratan, “glaucothoe” berjalan
dengan kulitnya yang sangat kecil dan bila sudah dewasa akan mengubur dirinya
dalam rangka mempersiapkan diri untuk berganti kulit. Setelah tahap ini ketam
kelapa tersebut menggali lubang dan terjadi pergantian kulit pada hari ke
28, ketam ini muncul sebagai ketam mudah pada hari ke 36. Setelah perubahan
bentuk mereka memakan kerangka luarnya yang lebih tua.
Kecuali sebagai larva, ketam kelapa (Birgus
latro) tidak berenang bahkan spesimen kecil akan tenggelam dalam air.
Mereka menggunakan organ khusus yang disebut “paru-paru branchiostegal” untuk
bernafas. Organ ini dapat ditafsirkan sebagai tingkat perkembangan antara
insang dan paru-paru, dan merupakan salah satu adaptasi paling signifikan dari
ketam kelapa terhadap habitatnya. Ruangan dari organ pernafasan ini terletak
bagian belakang cephalotoraks. Di organ ini terdapat jaringan yang sama seperti
pada insang, namun cocok untuk penyerapan oksigen dari udara, bukannya di air.
Mereka memakai kaki terakhir yang paling kecil untuk membersihkan organ napas
ini, dan untuk membasahinya dengan air laut. Organ itu memerlukan air agar
berfungsi, dan ketam ini memenuhi hal ini dengan menekan kaki yang dibasahi
pada jaringan spons didekatnya. Ketam kelapa juga bisa meminum air laut,
menggunakan cara yang sama untuk mengambil air ke mulutnya.
Selain organ pernafasan ini, ketam kelapa mempunyai
kumpulan insang rudimenter tambahan. Namun sewaktu-waktu insang ini kemungkinan
digunakan untuk bernafas dalam air pada sejarah evolusi jenis ini, mereka tidak
lagi menyediakan cukup oksigen, dan ketam yang terbenam di air akan tenggelam
dalam waktu beberapa menit (laporan beragam, mungkin tergantung tingkat stres
dan latihan serta konsumsi oksigen yang dihasilkan).
Penggunaan cangkang gastropoda yang kosong pada
fase “glaucothoe” dan ketam kelapa mudah merupakan adaptasi tingkah laku
yang berhubungan dengan keberhasilan emigrasi ketam kelapa dari lingkungan
perairan laut ke daratan. Tingkah laku ini dilakukan sebagai cara untuk
melindungi diri dari kekeringan dan berbagai ancaman yang terjadi dalam fase
yang rentan dalam siklus hidup hewan ini.
Biasanya setiap kali berganti kulit ketam kelapa
juga akan mengganti rumah keongnya. Penggantian rumah tersebut disesuaikan
dengan pertambahan ukuran tubuh. Tingkah laku yang demikian menjadikan ketam
ini sebagai hewan pembawa cangkang dan dapat berlangsung selama dua setengah
tahun. Namun demikian di Enowetok ditemukan ketam kelapa terkecil yang
berukuran karapas 22 mm dan di Guam sekitar 8,4 mm keduanya tanpa rumah
cangkang. Hasil penelitian di pulau Christmas menunjukkan ketam kelapa
mempergunakan cangkang Trochus sp. hingga berumur 9 bulan. pada ketam
berukuran lebih kecil yang tidak menemukan cangkang untuk tinggal, akan
berlindung di dalam hutan hingga berumur 12 bulan.
Ketam kelapa pada fase kalaumang atau hidup dengan
cangkang gastropoda, bersifat semi-teresterial dan karakteristik hidup pada
mintakat supra litoral yang berpasir, dan pada siang hari dapat ditemukan
berkumpul di bawah semak-semak dan diantara reruntuhan pohon yang mati dan
kayu. Ketam kelapa mempunyai tingkah laku yang menarik, pada fase kalaumang
hidup di mintakat litoral hingga supralitoral dan jarang ditemukan pada daerah
di atas mintakat supralitoral. Ketam kelapa dewasa ditemukan di atas mintakat
supralitoral yaitu pada celah atau lubang karang atau pohon. Liangnya ditemukan
berkisar antara 100 – 200 m dari garis pantai, walaupun pada daerah yang jauh
dari pantai sekalipun dapat ditemukan, diduga hal ini berhubungan dengan sifat
reproduksinya yaitu pada masa bertelur, ketam
kelapa betina akan kembali ke laut untuk melepaskan telur.
Ketam kelapa akan mencapai matang gonad ketika
mencapai umur 3,5 dan 5 tahun. Pada umur tersebut ketam kelapa akan kembali
melakukan aktifitas perkawinan dan memulai siklus hidupnya dengan melepaskan
telurnya ke laut. Telur-telur ketam kelapa yang telah matang berwarna abu-abu
kekuning-kuningan dengan titik mata yang terlihat jelas.