Wednesday 24 December 2014

Mengenal Ikan Kembung (Rastrelliger sp.)

Ikan kembung merupakan ikan pelagis kecil yang termasuk dalam famili Scombridae. Ciri meristik ikan kembung adalah sirip punggungnya terpisah menjadi dua bagian. Sirip punggung pertama berjari-jari keras 10, sedangkan sirip punggung yang kedua berjari-jari lemah 11 - 12. Sirip dada (pectoral) terdiri dari 16 - 19 jari-jari lemah, sirip perut (ventral) terdiri dari 7 - 8 jari-jari lemah, sirip ekor (caudal) terdiri dari 50 - 52 jari-jari lemah bercabang dan sisik pada gurat sisi (linea lateralis) terdiri dari 127 - 130 buah sisik (Collette dan Nauen 1983).

Ikan kembung terdiri atas tiga spesies, yaitu: kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta), kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) dan Rastrelliger faughni.

Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) mempunyai tubuh tidak terlalu mengecil, dimulai dari batas tutup insang 4 sampai 4,8 bagian dari panjang bakunya, kepala lebih panjang dari lebar tubuh, rahang atas (maxilla) ditutupi oleh tulang lakrimal tetapi meluas sampai mendekat ujung lakrimal. Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) tubuhnya mendadak mengecil, lebar pada pinggir tutup insang 3,7 sampai 4 bagian panjang baku tubuh (4 sampai 4,8 bagian pada Rastrelliger kanagurta), kepala hampir sama atau lebih kecil dari lebar tubuh, rahang atas ditutupi tulang lakrimal tetapi meluas sampai mendekat ujung lakrimal. Untuk jenis Rastrelliger faughni tubuh lebih ramping, lebar pada pinggir tutup insang, 4 sampai 4,8 bagian dibandingkan dengan Rastrelliger kanagurta. Rahang atas ditutupi oleh tulang lakrimal tetapi meluas hanya ¾ panjang dari lakrimal (Collette dan Nauen 1983).

Thursday 18 December 2014

Sekilas Tentang Reproduksi dan Daur Hidup Spons



Spons bereproduksi secara aseksual dan seksual. Secara aseksual, spons bereproduksi melalui proses fragmentasi atau dengan menghasilkan gemmules atau budding. Secara seksual, spons bereproduksi dengan menghasilkan sel telur dan sel sperma. Sebagian besar spesies spons bersifat hermafrodit dimana satu individu menghasilkan 2 jenis gamet (sel telur dan sel sperma) sekaligus.

Proses pembuahan dan perkembangan awal embrio biasanya terjadi secara internal. Sebagian besar spons menahan embrionya yang sedang berkembang secara internal selama beberapa waktu, kemudian melepaskannya keluar melalui oscula sebagai larva yang berenang. Sedangkan sebagian kecil spons bersifat oviparous dimana sel telur yang baru dibuahi dilepaskan ke kolom air laut dan embrio akan berkembang secara eksternal.

Larva spons biasanya tidak mampu untuk mencari makan dan berenang selama kurang dari 24 jam sebelum mengalami metamorfosis. Sebelum kehilangan kemampuannya untuk berenang, larva menempel pada suatu substrat. Selama proses metamorfosis lanjutan, sel-sel dari berbagai bagian embrio mengalami perpindahan dan perubahan menjadi spons dewasa secara besar-besaran (Pechenik 2005).

Sekilas Tentang Biologi Spons



Spons diklasifikasikan ke dalam kingdom Animalia atau hewan, subkingdom Metazoa, dan filum Porifera. Spons dimasukkan ke dalam filum Porifera dikarenakan seluruh tubuhnya yang berpori dimana dalam bahasa Latin “Porifera” berarti memiliki pori (Pechenik 2005). Spons memiliki 3 pembagian dasar struktur tubuh, yaitu asconoid, syconoid dan leuconoid. Sebagian besar spesies spons memiliki struktur tubuh leuconoid (M’Boy 2014). Berdasarkan komposisi kimia dan morfologinya filum Porifera terbagi atas tiga kelas, yaitu: Calcarea, Demospongiae, dan Hexactinellida. Namun saat ini telah diketahui kelas ke-4 dari filum ini, yaitu: Sclerospongia terdiri atas 16 spesies yang memiliki struktur leuconoid dan hanya terdapat di bagian gua-gua dan celah-celah terumbu karang yang gelap (Pechenik 2005).

Spons pada umumnya berwarna putih atau abu-abu, dan ada pula yang berwarna kuning, jingga, merah, atau hijau. Spons yang berwarna hijau biasanya disebabkan oleh adanya alga simbiotik yang disebut sebagai zoochlorellae yang terdapat di dalamnya (Romimohtarto & Juwana 1999). Warna spons tersebut sebagian dipengaruhi oleh fotosintesis mikrosimbionnya. Mikrosimbion spons pada umumnya adalah cyanophyta (sianobakteria dan eukariot alga seperti dinoflagellata atau zooxanthellae). Beberapa spons memiliki warna yang berbeda walaupun termasuk dalam jenis yang sama. Beberapa spons juga memiliki warna dalam tubuh yang berbeda dengan pigmentasi luar tubuhnya. Spons yang hidup di lingkungan yang gelap akan berbeda warnanya dengan spons sejenis yang hidup pada lingkungan yang cerah (Wilkinson 1980).

Spons termasuk hewan filter feeder yang menyaring air yang memasuki tubuhnya melalui pori-pori kecil yang disebut sebagai ostia sebagai tempat masuknya air laut untuk bersirkulasi melalui sejumlah saluran atau kanal dimana partikel-partikel plankton dan organik akan dimakan dan disaring keluar kembali. Pori-pori tersebut dan sistem kanal tersebut berfungsi untuk menyaring air setiap 5 detik (M’Boy 2014). Kanal-kanal tersebut adalah choanocytes yang merupakan lapisan sel yang terdapat pada bagian dalam mesohyl, sejajar dengan spongocoel. Sel ini memiliki struktur yang menyerupai protozoa choanoflagelata. Choanocyte berbentuk bulat, dengan satu ujungnya terhubung ke mesohyl. Partikel-partikel plankton dan organik tersebut di pompa masuk menuju ruang makan yang lebih besar yang disebut sebagai spongocoel. Sel choanocyte berperan dalam pergerakan air dalam tubuh spons dan untuk menyediakan makanan (Rupert & Barnes 1994). Pada bagian atas tubuhnya terdapat kanal yang berfungsi sebagai tempat keluarnya air yang disebut osculum dengan jumlah yang lebih sedikit daripada ostia.

Proses interaksi antara spons dan mikroba simbionnya belum sepenuhnya diketahui. Beberapa teori mengemukakan bahwa proses rekruitmen mikroba simbion dilakukan spons pada saat proses filter feeder. Dikatakan bahwa spons mengandung komunitas mikroba yang beragam dan kompleks, yang secara genetik berbeda dengan mikroba yang ditemukan di plankton dan sedimen laut (Fieseler et al. 2004). Spons juga bersimbiosis dengan beberapa mikroorganisme, seperti bakteri. Menurut Friedrich et al. (2001), diperkirakan sekitar 40% biomassa beberapa spons disusun oleh komunitas bakteri. Bakteri-bakteri tersebut merupakan simbion dalam tubuh spons. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa simbion-simbion tersebut memiliki peranan dalam produksi senyawa bioaktif yang berfungsi dalam adaptasi ekologi spons (Proksch et al. 2003; Thakur & Müller 2004; Ismet 2007).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa selain mikroba episimbion yang melekat pada bagian permukaan spons selama masa pertumbuhan, beberapa bakteri dan fungi diturunkan secara genetis dalam tubuh spons (Ismet 2007). Telah diketahui bahwa mikroba simbion spons memiliki peran menjaga kestabilan pertumbuhan dan kesehatan spons. Simbion-simbion tersebut memiliki peran penting dalam penyediaan energi dan nutrisi (Ismet 2007), beberapa spons hidup secara simbiosis dengan sianobakteria, yang berfungsi sebagai penyuplai nutrien melalui proses fotosintesis (Sjögren 2006), menghambat mikroba patogen, serta sebagai pelindung terhadap radiasi sinar UV dan penghasil enzim antioksidan (Ismet 2007).

Tuesday 25 November 2014

Bioekologi Ikan Bandeng (Chanos chanos)



Ikan bandeng (Chanos chanos), lebih dikenal dengan sebutan milkfish dan merupakan spesies euryhaline. Di Inggris, ikan ini dikenal sebagai salmon herring, sedang di Jepang dikenal dengan sabahi.

Sebagai spesies euryhaline, ikan bandeng dalam siklus hidupnya selalu bermigrasi ke perairan dengan salinitas berbeda seiring dengan pertumbuhannya. Melewati masa mudanya di perairan pesisir, kemudian seiring dengan kematangan seksual akan beruaya ke laut lepas untuk memijah dekat permukaan pada kedalaman 10 hingga 40 meter yang bersubstrat pasir dan coral (Nontji 1986). Bardach et al. (1982), menyatakan bahwa ikan bandeng akan siap memijah setelah berumur 6 tahun dan dilakukan pada malam hari. Secara alami setiap induk bandeng akan memijah 1 atau 2 kali dalam setahun. Selanjutnya habitat ikan bandeng dari larva hingga dewasa dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Habitat ikan bandeng (Chanos chanos) dari fase larva hingga dewasa (Bagarinao 1991)

Larva ikan bandeng yang baru dipijahkan disebut yolk-sac larvae hingga kuning telurnya diserap. Disebut larva bila ukuran tubuh berkisar antara 6 hingga 10 mm, berumur 2 hingga 3 minggu setelah pemijahan, dan mulai bermigrasi ke perairan pantai (Lee et al. 1986). Sebutan fry diberikan untuk fase akhir dari larva yang berumur antara 3 hingga 4 minggu setelah pemijahan, dengan ukuran panjang tubuh antara 10 hingga 16 mm, yang selanjutnya muncul di perairan pantai, bergerak lincah, dan selalu berada di permukaan secara bergerombol (MandongaBoy 2014). Setelah itu akan memasuki kawasan mangrove, hidup disana hingga berumur ± 3 bulan, kemudian akan bermigrasi kembali ke laut (Lee et al. 1986). Pola distribusi seperti ini berkaitan erat dengan kondisi perairan, seperti ketersediaan makanan, faktor fisik, dan kimia perairan (Boehlert et al. 1985). Warna larva tersebut pada ukuran panjang tubuh antara 10 hingga 12 mm adalah bening (transparan). Pada ukuran panjang tubuh antara 13 hingga 15 mm dengan berat tubuh antara 6 hingga 7 mg, memiliki sebuah titik putih di bagian tengah badan yang berfungsi sebagai gelembung udara (Mardjono et al. 1985).

Larva ikan bandeng yang muncul di perairan pesisir di Indonesia dikenal dengan sebutan nener. Larva ikan ini umumnya ditemukan di perairan pesisir yang jernih, bebas pencemaran, masih dipengaruhi pasang surut, dan bersubstrat dasar pasir atau pasir dengan sedikit berbatu terutama pantai berpasir yang mendapat suplai air tawar (Nontji 1986). Ini dikarenakan larva tersebut dalam fase pertumbuhannya memerlukan salinitas yang lebih rendah untuk berkembang menjadi ikan muda (Mardjono et al. 1985). Penyebaran larva ini banyak ditentukan oleh angin dan arus, terutama arus pasang surut serta ketika angin bertiup ke arah pantai. Muncul di pantai pada saat air mulai pasang atau mulai surut (Watanabe 1986; Nontji 1986; Mardjono et al. 1985; Suseno 1987; Mudjiman 1987).

Tuesday 18 November 2014

Karakteristik Ikan Kerapu Sebagai Ikan Karang



Ikan kerapu merupakan jenis ikan karang yang hidup di perairan terumbu karang. Dalam perdagangan internasional jenis-jenis ikan kerapu dikenal dengan nama grouper. Terdapat sekitar 150 spesies ikan kerapu di seluruh dunia yang tersebar di berbagai tipe habitat. Dari seluruh spesies yang ada, ikan kerapu dikelompokkan dalam 7 genus dimana 3 diantaranya sudah berhasil dibudidayakan dan termasuk jenis komersial, yaitu genus Cromileptes, Plectropomus dan Epinephelus (Ahmad 2002).

Pada umunya ikan kerapu muda hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5-3 m, selanjutnya menginjak dewasa beruaya ke perairan yang lebih dalam antara 7-40 m. Telur dan larva ikan kerapu macan bersifat pelagis, sedangkan yang individu muda dan dewasa bersifat demersal. Habitat favorit larva dan ikan kerapu muda adalah perairan pantai dengan dasar pasir berkarang yang banyak ditumbuhi padang lamun (MandongaBoy 2014). Parameter lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu yaitu pada temperatur 24-31oC, salinitas 30-33 ppt, kandungan oksigen terlarut >3,5 ppm dan pH 7,8-8. Perairan dengan kondisi seperti ini pada umumnya terdapat di perairan terumbu karang.

Aktivitas mencari makan merupakan kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh semua jenis ikan baik dengan menggunakan indera penglihatan, perabaan maupun penciuman. Berdasarkan kebiasaan makan, secara garis besar ikan dapat diklasifikasikan sebagai ikan herbivora, omnivora dan karnivora (Nybakken 1988). Ikan kerapu adalah termasuk jenis ikan karnivora dan cara makannya “menggerus”. Jenis ikan yang sering dimakan adalah ikan tembang, teri dan belanak. Pada umumnya ikan karnivora mempunyai gigi untuk menyergap, menahan dan merobek mangsa. Jari-jari tapis insangnya menyesuaikan untuk penahan, memegang, memarut dan menggilas mangsa. Ikan karnivora mempunyai lambung benar, palsu dan usus pendek, tebal dan elastic (Effendie 2002).

Kebanyakan jenis ikan komersial penting, termasuk jenis-jenis kerapu dan napoleon melakukan aktivitas reproduksi dalam suatu pemijahan massal (spawning aggregation) yang melibatkan puluhan hingga puluhan ribu individu (Sadovy 1996). Pemijahan massal (spawning aggregation) adalah kelompok spesies ikan yang sama yang berkumpul untuk tujuan pemijahan, dimana denstitas dan jumlah ikan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan densitas dan jumlah ikan di lokasi agregasi tersebut pada saat tidak dalam masa reproduksi (Domeier & Colin 1997). Banyak ikan karang konsumsi berkumpul dalam jumlah besar pada lokasi, musim dan fase bulan yang spesifik untuk memijah (Sadovy 1996). Pada umumnya lokasi dan waktu agregasi selalu tetap pada jangka waktu yang lama sehingga kumpulan ikan ini menjadi target yang mudah bagi aktivitas penangkapan musiman (Sadovy 1997).

Jenis ikan kerapu umumnya merupakan hermaprodit protogini (Shapiro 1987 dalam Levin & Grimes 1991). Juvenil kerapu biasanya memiliki jenis kelamin betina, dan individu jantan terbentuk pada saat betina dewasa berubah kelamin (Levin & Grimes 1991). Selanjutnya Levin & Grimes (1991) menjelaskan bahwa eksploitasi terhadap lokasi pemijahan massal akan berimplikasi secara nyata terhadap ekologi reproduksi ikan kerapu. Jika individu yang lebih tua dan berukuran besar lebih rentan terhadap penangkapan, maka proporsi jantan dalam populasi akan menurun. Hilangnya individu dewasa menyisakan individu muda yang belum memiliki pengalaman untuk melakukan pemijahan di lokasi pemijahan massal tradisional seperti dilakukan pendahulunya, sehingga lokasi pemijahan massal tersebut dapat menghilang pada akhirnya. Kalau pun lokasi pemijahan tersebut masih berfungsi, penurunan jumlah individu jantan menyebabkan keterbatasan sperma yang dapat mengganggu keberhasilan pemijahan (Shapiro et al. 1994).

Reproduksi dan rekruitmen merupakan dua momen penting dan kritis dalam siklus hidup spesies ikan. Sering, dalam proses ini melibatkan perpindahan antara wilayah, dan beberapa spesies, melakukan migrasi ke daerah pemijahan utama (SEAFDEC 2006). Kebanyakan populasi ikan kemudian menjadi rentan terhadap dampak aktivitas penangkapan yang beroperasi di daerah pemijahan (spawning ground) dan di daerah pengasuhan (nursery ground) dimana masing-masing terdapat stok induk dan juvenil yang melimpah.